Hal pertama yang kulakukan adalah memeluk Ravero.
Entahlah. Sebenarnya aku nggak paham apa yang dia katakan, atau mempercayai hal tersebut eksis. Namun aku mendadak aku ingin memeluknya. Aku merasa apa yang Ravero alami lebih pelik dibandingkan masalahku yang sangat-sangat klise.
"I'm fine," bisik Ravero sambil terkekeh kecil. "Masalah gue mah udah selesai sejak lama. Udah bukan masalah lagi."
"Tapi kamu kan jadi nggak bisa menikahi Kak Reva atau Raven."
"Kan gue masih bisa nikah ama elo, Neng!" Ravero mengangkat alisnya dengan genit. "Mau nggak Raden Oneng nikah sama Tuan Muda Ravero Hadiputra a.k.a John?"
"Nggak, lah!" Kucubit perut Ravero hingga dia meringis ngilu.
"Daripada pusing milih Raven atau Boon. Ya nggak, sih? Dijamin, nikah ama gue mah nggak akan ada saingan." Ravero memonyongkan bibir mencoba menciumku, tetapi langsung kudorong mukanya jauh-jauh.
"Terus apa yang bakal kamu lakukan kalau nggak bisa nikah sama Kak Reva atau Raven?"
"Lo nggak harus cinta seseorang buat nikah, Raden Oneng. Lo juga nggak harus nikah karena cinta seseorang. Bikin happy aja apa pun yang bisa bikin elo happy."
"Aku happy sama dua-duanya."
Ravero tergelak lagi. "Pilih Raven kalau gitu."
"Karena banyak duitnya?"
Ravero menjitakku. "Bukan, lah Oneng." Dia lalu mencubit pipiku dengan gemas. Cubitan itu nggak dia lepas sampai Ravero selesai ngomong, "First of all, be thankful cause you can actually marry Raven—something I could never do. Kedua, kalau elo pilih Raven, maka Raven bakal bahagia. Kalau Abang bahagia, gue ikut bahagia. Lalu Boon jadi available buat Revalina, maka Kakak bakal bahagia. Kalau Kakak juga bahagia, gue ikut bahagia juga, lah. Win win solution for everyone. Kalau perlu Nadia kawin ama gue, biar Nadia bahagia juga."
"Mau emangnya sama Nadia?"
"Nggak, lah. Siapa yang mau emang?" Ravero terbahak lagi. "Tapi kalau gue kawinin Nadia, bakal banyak banget yang bahagia. Elo, Abang, nyokap bokap gue, seluruh keluarga Pringgodani, seluruh jagad semesta, semuanya jadi happy. Ya udah, kawinin aja nggak sih itu chicken food? Ya, nggak?"
"Kamu mau melakukan itu?"
"Demi Abang dan Kakak, iya," kata Ravero. "Dan sebenarnya, dalam waktu dekat, kayaknya itu satu-satunya rencana yang bisa kita jalankan untuk menjauhkan Nadia dari kalian berdua."
* * *
Dua hari setelah kunjungan Ravero, Yuni meneleponku. "Mooon! Apa kabarnya?"
Aku mengerutkan alis. "Kita kan lagi Whatsapp-an, Yun. Kenapa kamu nanyain kabar?"
"Gapapa. Nanya aja. Hehe."
"Aku lagi bantuin ibunya Boon bikin perkedel. Kan tadi gue udah bilang di Whatsapp."
"Oh iya. Hahaha."
Kenapa sih Yuni ini?
"Ketemuan yuk!" ajaknya. "Gue lagi bete, nih. Gue baru beres shift. Kita ketemuan di GI aja."
"Aku kan nggak boleh ke mana-mana, Yun untuk sementara."
"Nggak usah bilang-bilang Boon, lah. Gapapa. Kan ama gue."
"Nggak, ah. Lagian GI kejauhan."
"Mal paling deket apa dong?"
"PIK Avenue deket, sih. Ibunya Boon naik motor doang ke sana, cuma lima menit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...