Emily terkulai lemas di atas sebuah kasur busa yang diletakkan di lantai begitu saja. Cardigan dan kaos putih polos yang dia kenakan setengah terbuka, sampai sebatas ulu hati. Luka bekas tikaman di perut Emily masih menganga dan mengucurkan darah. Setelah Emily tidak sadarkan diri, Benjamin membawanya pergi dengan menggendong tubuhnya sampai ke tempat itu. Memang, dibandingkan dengan ukuran tubuh Benjamin yang tergolong besar, Emily terlihat seperti balita yang digendong ibunya. Namun untuk menggendong seorang wanita dewasa sambil berjalan terdengar berlebihan bagi seorang manusia biasa. Wanita pemilik toko roti menyarankan untuk memesan taksi ke rumah sakit, tapi Benjamin menghiraukannya. Buktinya, Benjamin dapat membawanya dengan selamat sampai ke tujuan. Tapi, kenapa dia begitu tidak ingin menggunakan taksi? Kenapa dia tidak ke rumah sakit saja?
Ruangan itu tertutup dengan sebuah lampu lampion Cina yang menggantung di langit-langit dan sepasang jendela yang terbuka untuk penerangan. Tidak barang-barang lain yang terdapat di sana; tidak hiasan, tidak alat-alat elektronik, tidak perabotan-perabotan, hanya sebuah ruangan kecil dengan tempat tidur dan jendela. Benjamin duduk di atas kursi jongkok kayu dekat Emily berbaring. Di bawah kaki Benjamin, adalah sebuah wadah kaca dengan bongkahan batu berwarna putih dan api biru misterius yang menyelimutinya. Benjamin menggosokkan salap di telapaknya, dan menyendok api biru itu layaknya sihir, kemudian ia memberi sedikit pijatan ke sekitar luka Emily. Dengan tangannya yang masih membara, dia mencolek sejari telujuk salap dan mengoleskannya tepat pada bagian luka Emily. Karenanya, Emily sempat merintih kesakitan dan perih yang ia rasakan itu memicu kesadarannya.
Hal pertama yang dilihat Emily ketika membuka mata ialah pria berbadan besar di sampingnya dengan tangan yang berapi-api. Itu bukan hal yang lazim dilihat orang ketika siuman.
"What the fu ..." Sergap Emily terkejut.
"Jangan banyak bergerak!" Sela Benjamin dingin. Dia meletakkan tangan berapinya ke kening Emily, yang tentu saja, membuat wanita itu takut setengah mati.
"Maaf." Lanjut Benjamin sadar akan tangannya yang menyala-nyala. Dia mengarahkan kedua lengannya ke atas wadah api dan menggosok api itu turun kembali ke dalam wadah. Api biru itu bagaikan kulit yang terkelupas dari ular yang tubuhnya sudah terlalu besar.
"Duduk sebentar!" Perintah dokter entah-beranta itu sambil mengulurkan tangannya. Emily mengenggam lengannya dan Benjamin menarik badannya hingga pada posisi duduk. Tanpa permisi terlebih dahulu, ia merangkul Emily, tepatnya di bagian perut, untuk membalutkan perban empat putaran pada luka Emily. Emily teripu malu, pria asing itu memposisikan dirinya seperti hendak memberi sebuah pelukan. Diikuti dengan tiap balutan yang memutari pinggangnya, rasa sakit itu pun bertambah, begitu juga dengan rona merah di pipinya.
Benjamin membantu Emily kembali berbaring. Ada sensasi dingin yang hinggap di tubuhnya walaupun tadi Emily ia dibaluti dengan api. Dan setelah sensasi itu hilang, perih lukanya pun lenyap. Malahan, tubuh Emily terasa ringan.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Benjamin.
"Jauh lebih baik!" Jawab Emily, setengah terkejut dengan hasil dari pengobatan aneh itu.
"Bagus." Benjamin menutup wadah kaca miliknya hingga api yang berkobar di dalamnya tadi padam. Ia hendak bangkit berdiri ketika Emily tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Terima kasih, Ben." Ucap Emily sambil tersenyum. Lesung pipi yang timbul di pipi kanan Emily. Wanita yang sangat atraktif. Tubuhnya molek selaras dengan kulitnya yang putih sempurna. Ia memiliki sepasang mata yang besar dan terkesan bergairah. Sebaliknya, ekspresi wajahnya melankolis dan syahdu, diatasi dengan rambut pirang keemasan yang bergelombang. Senyum yang ia kembangkan di bibirnya itu pasti bisa membuat hati setiap pria meleleh.
Tanpa tersadar, Benjamin tersenyum kecil. Sangat kecil! Namun cukup bagi Emily. Wanita itu terlihat puas dengan sedikit lekukan di bibirnya.
"Raphael." Ucap pria itu.
"M-maaf?"
"Nama asliku Raphael." Jawab Raphael sambil berjalan meninggalkan Emily di kamar itu.
~~~~~~~~
"The woman is awake?" Ucap seorang pria tua berpakaian Tang Suit hitam dengan aksen Cina yang kental. Sang pria tua mengelus-ngelus janggut panjangnya bak seorang petapa Tiongkok.
"Ya, Dia sudah bangun." Jawab Raphael sambil menulusuri rak yang dipenuhi wadah-wadah berisi tanaman-tanaman aneh. Pria itu berhenti pada baris kiri rak dan dia mengambil setoples tanaman herbal yang isinya seperti temulawak. "Tapi dia kehilangan cukup banyak darah. Akan kubuatkan ramuan untuk mempercepat produksi sel darahnya."
"Kau adalah salah satu murid terbaikku, Raphael! Perihal pengobatan dan terapi merevitalisasi tubuh, cuman kau yang seratus persen mempelajari setiap teknik yang kuajarkan. Tapi sayang, kamu jarang menerapkannya. Setidaknya tidak semua orang ..."
"Pujian dari anda sangat berarti bagi saya, Shi Fu." Sela Raphael sambil membungkuk dengan telapak tangan kanan menyentuh tinju kiri di depan dada.
"Lalu kenapa kau mau menolong perempuan satu ini?" Lanjut pria tua itu.
Raphael berhenti membungkuk dan diam sejenak. "Dia... Menolong saya dengan mengembalikan dompet saya yang dicuri." Jawabnya sepele.
Sang guru misterius itu mendengus mendengar jawaban Raphael yang tidak memuaskan itu. "Kau orang yang hebat Raphael. You have great strength, great intelligence, great charisma, great wealth..." Dengan ujung matanya, pria itu melirik ke arah Raphael.
"Namun bagaimana pun juga, kamu tetap manusia. Dan manusia memiliki perasaan-perasaan tertentu yang sulit dikendalikan."
Sekonyong-konyong pria tua itu melempar sebuah sendok yang melesat cepat ke arah kepala Raphael. Tanpa berpaling sedikit pun dari minuman ramuannya, Raphael menangkap sendok itu dengan telunjuk dan jempolnya sebelum menghantam pelipisnya. Dengan santainya, Raphael mengaduk ramuan itu dengan sendok yang nyaris melukainya.
"Saya akan mempertimbangkan nasihat guru." Jawab Raphael, singkat seperti biasa. Setelah mengaduk minuman kemerah-merahan yang dibuatnya. Dia meletakkan minuman itu di atas nampan dan mengangkatnya.
Bocah ini sedang jatuh cinta dan dia sulit mengakuinya. Batin guru Raphael.
"P-permisi?" Suara seorang wanita tiba-tiba muncul dari arah tangga. "Bolehkah saya ke toilet sebentar." Pinta Emily yang turun dari tangga dengan wajah masam karena menahan pencernaannya.
"Wow! I can see why you fall for the girl, Young Raphael." Ucap sang guru saat melihat sosok Emily.
~~~~~~~~~

KAMU SEDANG MEMBACA
[HIATUS]Deus Caritas Est (DCE)
Action"You see Ryan, when you put the word 'God' and 'Love' together, You'll find the true meaning of life." He smiles at him and said, "That is what you called 'Deus Caritas Est'." Ryan dan Edward adalah kakak-beradik yatim-piatu namun menikmati kehidu...