Tiga

20 6 2
                                    

Gue termangu.

Selama ini, meskipun gue mengalami beberapa pertengkaran dengan Ranya (hubungan berpacaran tak akan selalu mulus, bukan?) kami tidak pernah sekalipun berpikiran untuk putus.

Namun, gue mendengar kata-katanya dengan jelas dan gue tak yakin jika Ranya serius. Habis, suaranya terdengar getir dan tidak percaya diri.

"Kenapa, Nya?" Gue tidak bisa menahan diri untuk tak bertanya.

"Karena harus. Itu yang terbaik buat kita, Deva." Ranya menjawab tanpa menjelaskan apa yang gue inginkan.

Gue meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat. Menatap langsung pada matanya. Gue tidak rela, terlebih karena akhir-akhir ini hubungan kami terasa mulus tanpa berantem.

"Jelasin, Ranya. Biar aku bisa mengerti."

Ranya menghindari tatapan gue. Ia menoleh, mengalihkan atensi pada keramaian dan euforia seusai wisuda, sedangkan kami berdua begitu rikuh.

"Ranya ..."

Ia menghembuskan napas panjang, lalu kembali menatap gueーekspresinya canggung dan takut. Ranya itu perempuan yang mudah dibaca, gue bisa menebak-nebak apa yang ia pikirkan dari gerakan tubuh dan raut wajahnya.

Sekarang, dari yang terlihatーsepertinya ada sesuatu yang besar untuk ia raih dengan mengorbankan hal lainnya, yaitu hubungan kami. Ranya nelangsa, sorot matanya mengatakan itu.

"Oke. Aku akan menjelaskannya." Masih dengan tangan yang bertautan, Ranya duduk di kursi dan gue mengikuti di sampingnya. "Aku akan ke Bali, Dev."

"H-hah?!" Gue kaget. Bali itu jauh dari Jakarta, dan gue masih tidak memahami kaitannya dengan hubungan kami.

"Sebelum wisuda hari ini, aku mencoba melamar berbagai pekerjaan. Aku ikut banyak tes dan wawancara, kamu tahu itu bukan?" Ranya menatap gue, seolah meminta gue menarik kesimpulan sendiri.

"Kamu ... dapat pekerjaan itu di Bali?"

Ranya mengangguk. Terlihat tekad yang kuat di matanya, ia sudah memutuskan hal ini tanpa ragu lagi. "Kantor pusatnya di Jakarta, tapi aku ditempatkan di cabangnyaーBali. Aku harus segera bekerja Dev. Seperti yang kamu tahu, aku anak sulung dan orangtuaku sudah menua. Aku harus menggantikan mereka mencari nafkah, aku masih punya adik-adik yang harus dibiayai. Lalu, hubungan kita ... akan menjadi jauh dan itu tak akan baik."

Terlalu banyak pertanyaan yang terlintas di benak gue seusai mendengar penjelasan Ranya.

"Apa tidak ada pekerjaan lain yang bukan di Bali?"

"Hanya itu yang nerima aku, Dev. Mencari kerja itu sangat sulit."

"Bagaimana kamu bisa hidup di sana? Tempat baru yang benar-benar asing, kamu yakin?"

"Aku yakin. Ada asrama yang disediakan kantor, aku hanya perlu membayar biaya ke sana."

"Apa orangtua kamu mengizinkan pergi sejauh itu?"

"Ya, mereka setuju. Katanya bagus untuk menambah pengalaman baru."

"Apa kita ... tidak bisa terus berhubungan?"

"Kita masih bisa berteman, benar? Jika lebih dari itu, kemungkinan salah satu dari kita tak akan bertahan. Kita akan terluka."

Bukan akan, Ranya. Gue sadar bahwa saat ini, kami sudah terluka. Melepaskan sesuatu yang selama ini ada membuat luka tak kasat mata di hati masing-masing.

Gue sempat mengira ia tak serius karena gesturnya tak percaya diri dan canggung, tapi tekadnya membuat gue juga menyadari ia sudah bersungguh-sungguh sekalipun teramat sedih atas hal ini.

Serta, hanya ada satu pilihan yang diberikan Ranya untuk gue: menerima keputusannya.

Gue tahu apa yang dilakukan perempuan itu benar, dan gue tidak bisa egois mempertahankan Ranya. Gue tahu kalau ia hanya ingin melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab untuk keluarganya.

Gue tahu kami tak akan bertahan jika berjarak terlalu jauhーRanya yang akan sibuk bekerja dan tak memiliki waktu luang, dan gue yang punya ketakutan terhadap hubungan.

Ranya bisa mengerti ketika di masa lalu gue menceritakan latar belakang keluarga gue yang didasari oleh perselingkuhan. Walaupun ayah gue menafkahi kedua istrinya dengan baik dan tidak kekurangan uang, banyak sekali masalah yang pernah gue alami karena memiliki dua keluarga.

Jauh di pikiran gue, yang hanya pernah gue ceritakan kepada Ranya; gue takut menjadi seperti ayah yang memiliki dua perempuan yang dicintai. Butuh keberanian ekstra untuk meminta perempuan itu menjadi milik gue dan mengambil risiko atas keputusan tidak ingin kehilangannya.

Ranya tak pernah mempermasalahkannya, bahkan tidak mengikat gue atau menjadi posesif. Sesekali ia cemburu jika ada perempuan lain yang mendekati gueーhanya itu, dan gue sangat menyayangi Ranya untuk tidak berpaling.

Saat ini, sekalipun Ranya tidak bilang, gue tahu ia memiliki ketakutan yang sama dengan gue. Takut suatu hari nanti ada yang berhasil membuat gue tertarik dan jatuh cinta lagi pada saat ia tidak bisa dekat dengan gue. Ia memutuskan hubungan sebelum itu menjadi kenyataan.

"Baiklah ... kalau itu sudah menjadi keputusanmu." Gue mengucapkannya pelan-pelan, sekalipun hati ini rasanya tidak ikhlas. "Kapan kamu akan pergi?"

Ranya terkejut. Matanya mulai berkaca-kaca, ia sangat ekspresifーsesuatu yang gue suka karena gue jadi lebih mudah mengerti dirinya.

"Minggu depan. Aku naik kereta, lalu kapal ke Bali. Biayanya akan lebih murah, walaupun harus menempuh waktu lebih lama." Ranya menjawab, lalu trersenyum. "Terima kasih telah bersamaku selama ini, Deva."

Ini benar-benar berakhir. "Jaga diri kamu baik-baik, Ranya. Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Everything She DoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang