Part 2 : Run!

27 1 2
                                    

Empat tahun kemudian…

Waktu berlalu sangat cepat bagi Edith yang sekarang berumur 21 tahun, tak disangka sudah 4 tahun yang lalu ibunya, Evangeline Gaffigan meninggal dunia. Di musim gugur yang dingin, sebagian jiwa Edith ikut gugur bersama daun-daun jingga.

“Edith!! Ambilkan ayah bir dingin dan snack, apa kamu tidak bisa lihat ayah-mu kelaparan disini?” Sambil mengangkat kakinya ke sebuah sofa yang terlihat kusam.

“Ambil saja sendiri! Jika kakimu hilang barulah kamu meminta bantuanku” Edith pergi menuju kamarnya.

Seketika terdengar suara hentakan kaki menuju kearah Edith, Saat ia menengok, ayahnya kemudian menjambak rambutnya yang panjang.

“Beraninya kamu melawan! Cepat ambil yang harus kamu ambil atau akan aku kunci kamu di loteng!” Menjambak rambut Edith lebih kencang.

Ayah Edith, Peter Gaffigan, adalah laki-laki yang keras. Ia terkenal sebagai seorang pengangguran yang tidak bisa apa-apa.

Peter Gaffigan menikahi seorang wanita bernama Evangeline dan kemudian dikaruniai seorang anak perempuan, yaitu Edith. Evangeline adalah wanita yang anggun, ia mempunyai wajah yang keindahannya tak lekang oleh waktu. Edith sangat dekat dengan ibunya, dan ibunya selalu melindunginya dari Peter.

“Ayah! Jangan tarik rambutku, maafin aku yah!” Edith berteriak, tapi ia tidak berdaya.

“DIAM!” Peter menghempaskan tubuh Edith ke lantai.

Braaakkk!!

Terdengar suara pintu terbanting ke dinding.

“Hei, ada apa ini!?” Marion, nenek Edith tiba-tiba muncul di depan rumah keluarga Gaffigan.

Edith berlari menuju kearah wanita tua renta itu, Edith yang berlinang air mata kemudian memeluk tubuh neneknya. Seketika ia merasa aman, kehangatan yang sudah lama hilang mulai meresap ke dalam tubuhnya.

“Kenapa kamu menangis Edith? Mengusap air mata di pipi Edith.

“Gapapa kok nek, tadi aku cuman jatuh” Edith menunjukkan senyumnya yang terlihat dipaksakan.

“Ibu ada urusan apa kesini?” Ayah Edith berkata.

“Ibu cuman ingin memeriksa keadaan cucu tersayang, apa salah nya?”

“Hah? Oh gapapa kok, saya kaget saja ibu tiba-tiba datang” Muka ayah menahan malu.

Edith kemudian mengantarkan Marion ke kamarnya. Ia menaruh kopernya lalu duduk di sofa yang berada di sebelah lemari pakaian. Marion duduk disampingnya.

Mereka bertukar cerita dan pengalaman hingga larut malam. Edith merasakan kebahagiaan yang sudah lama tidak muncul kembali lagi saat neneknya datang mengunjunginya.

Keesokan harinya…

“Bangun Edith, nenek sudah membuatkanmu sarapan di bawah”

“Huaamm” Edith hanya menguap lalu tersenyum manis pada Marion.

 Edith turun kebawah dan menuju ruang makan. Di meja makan sudah tersedia sarapan pagi yang dibuatkan neneknya. Ia tidak melihat tanda-tanda kehadiran ayahnya di ruangan tersebut.

“Dimana ayah?” Edith bertanya.

“Oh, tadi nenek suruh membersihkan halaman depan rumah” Sambil menyiapkan garpu dan sendok makan.

“Edith” tiba-tiba sang nenek menatap mata Edith dalam-dalam.

“Iya nek?” Edith hanya menatap kebingungan.

“Nenek cuman mau bilang, nenek tau apa yang selama ini ayahmu lakukan ke kamu. Nenek tidak tega melihatmu menderita seperti ini dan nenek ingin kamu ikut bersama nenek ke Yorkville”

“Tapi nek, ayah ba-“

“Stop! Jangan hiraukan ayahmu yang kejam itu biar orang lain saja yang mengurusnya”

Edith berpikir sejenak, dalam hati ia merasa sangat senang neneknya menawarkan dia untuk tinggal di Yorkville, tapi ia yakin bahwa ayahnya tidak akan mengijinkannya pergi.

“Ayah ga akan ngijinin aku nek” Edith berkata.

“Kalau begitu kamu harus kabur dari sini tanpa sepengetahuannya” Nenek berkata dengan spontan.

Edith hanya terdiam, ia sudah memikirkan untuk kabur dari rumah sejak ibunya meninggal.

“Te tetapi a-“ Edith berkata dengan tersendat-sendat.

“Itu adalah saran terbaik nenek. Jika kamu ingin pergi dari tempat terkutuk ini lebih baik kamu pergi sekarang juga, nenek akan mengawasi ayahmu”

“Hufff” Edith menghela nafas.

Beberapa detik kemudian ia berlari menuju kekamarnya di atas dan mencari-cari tasnya yang berwarna biru tua. Ia kemudain mengemas barang-barang nya secepat mungkin dan melempar dompet, hp, dan pakaian kedalam tas tersebut.

“Huhh, cepat Edith! Cepat Edith! Kamu pasti bisa” Edith mengulangi kata-kata itu sambil menyiapkan barang-barangnya.

“Nek aku sudah siap!!”

“Shhhh… Jangan berisik nanti ayahmu dengar” Nenek meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

“Oopss maaf” Sambil berbisik.

“Aahhh sial, ada yang kelupaan! Bentar ya nek awasi ayah”

Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Edith, ia menaiki anak tangga dan menuju ke kamarnya. Ia melupakan satu barang yang sangat berharga. Foto Ibunya.

“Cepat Edith! Ayahmu sedang berjalan kesini” Nenek mengintip di balik jendela.

Edith berlari sekencang-kencangnya ke lantai bawah. Ia sudah mengenakan tas birunya dan memakai jaket serta sepatu boots berwarna coklat.

Edith memeluk neneknya sebagai tanda perpisahan. Untuk yang kesekian kalinya air mata mengalir di pipinya yang merona.

“Jangan pernah menghubungi ayah-mu lagi, janji?” Marion memeluk erat cucu tersayangnya.

“Janji” Berbicara sambil terisak.

Tiba-tiba…

“Edith! Mau kemana kamu?!” Ayah Edith muncul dari pintu belakang.

Edith tersentak. Neneknya melepaskan kedua tangannya dari pelukan tersebut.

“LARI EDITH! LARI SECEPAT MUNGKIN!” Nenek berteriak.

Edith menatap kearah ayahnya untuk terakhir kali kemudian ia berlari sekencang-kencangnya keluar rumah. Ayah Edith berusaha untuk mengerjarnya tetapi ia dicegat oleh Marion. Kaki Edith terasa seperti jelly, lemah dan rapuh, pikirannya seperti melayang-layang, dan ia merasakan suatu kebebasan yang terasa aneh muncul dari dalam dirinya.

Edith sempat terjatuh, kemudian ia menengok kearah belakang dan melihat ayahnya sedang memukul neneknya. Bagi Edith itu adalah saat-saat yang paling menghantui hidupnya, melihat orang yang ia sayangi disakiti dan tidak bisa berbuat apapun. 

Constellation of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang