Jangan gugup, jangan tegang, santuy kaya di pantai. Batin cewek berambut curly yang kini berjalan menyusuri lorong kelas XII. Di depan kelas XII MIPA 1, langkahnya berhenti. Dengan rasa gugup, ia memasuki kelas itu dan langsung menjadi sorotan murid-murid lain.
"H-hai." sapanya dengan logat yang sedikit berbeda.
Hening. Tak ada satupun yang menjawab sapaan cewek beriris mata abu-abu itu. Sampai akhirnya seorang guru masuk dan menyapanya.
"Louisa ya?" Louisa berbalik dan menatap guru perempuan berwajah Arab yang tersenyum padanya.
"Iya, Bu."
"Gimana kelasnya?" tanya Bu Nova.
"Bagus, Bu, hehe." balasnya gugup.
"Jangan gugup gitu dong, ayo sini ikut Ibu." Bu Nova berjalan ke tengah kelas. Seluruh murid yang sudah berangkat pun fokus memerhatikan keduanya di depan kelas. Sebagian besar murid menebak siapa cewek berseragam aneh itu. Sisanya mulai berbisik-bisik karena wajah dan kulitnya yang berbeda.
"Selamat pagi anak-anak, semoga kalian semua sehat dan semangat ya!" sapa Bu Nova, ia berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan perkataannya.
"Hari ini kalian kedatangan teman baru dari negeri kincir angin. Kalian baik-baik sama dia, ya. Ayo sini perkenalan." Bu Nova menatap cewek di belakangnya yang tersenyum gugup.
"H-hai, nama gue Louisa Van Roosevelt, kalian bisa panggil Louisa atau Louis. Seperti yang tadi bu guru bilang, gue dari Belanda. Tapi tenang aja, gue bisa bahasa Indonesia juga. Jadi kalian ngga perlu ragu buat ngobrol sama gue ke depannya. " Louisa tersenyum ramah dan mundur beberapa langkah.
"Nah, sudah jelas kan? kalau ada pertanyaan silakan tanya. " Bu Nova menatap seisi kelas.
"Bu, saya mau bertanya." seorang murid perempuan di barisan tengah mengacungkan tangannya.
"Iya, kenapa?"
"Kenapa Louisa pindah ke Indonesia?" tanyanya, Louisa yang tadinya gugup kini makin gugup setengah mati. Ia meremas roknya kuat, lalu dengan gelagapan ia menjawab.
"Ee..gue pindah karena nyokap minta gue balik dan tinggal di sini." jawab Louisa asal-asalan.
"Jelas jawabannya?" tanya Bu Nova.
"Jelas, Bu, terimakasih." Jawab murid tadi sopan.
"Nah, perkenalannya cukup sampai sini, ya. Kalau masih ada yang mau ditanyakan, tanya saja langsung ke Louisa. Louisa, kamu boleh duduk di bangku yang masih kosong. " jelas perempuan berhijab itu.
Louisa mengangguk ramah dan berjalan ke meja yang tak berpenghuni. Bu Nova lalu berpamitan pada murid-murid lain dan meninggalkan kelas. Sejurus kemudian, bisikan-bisikan mulai terdengar di kelas. Louisa yang merasa diperhatikan pun hanya bisa diam membatu seperti saat dirinya ditanya soal matematika. Mati suri.
"Hai!" Sapa cewek yang duduk di depan Louisa. Cewek berambut pendek itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya.
"Rara." Ujarnya memperkenalkan diri.
"Louisa." Balasnya ramah, ia melepas jabat tangannya dan melirik murid-murid lain. Sesekali memainkan HP-nya yang menampilkan pesan dari teman-temannya di Belanda. Oh shit, Louisa merindukan mereka.
"Santuy aja di sini, anak-anaknya asyik kok." Ujar Rara seakan paham kekhawatiran Louisa.
"Hehe, gue masih kudu beradaptasi." Balasnya ngawur.
Bohong. Louisa termasuk orang yang mudah beradaptasi. Tapi kalau sudah ditatap seperti ini, rasanya ia sudah menjadi ironman.
"Ra?" Panggil Louisa lirih pada "teman" barunya.
Yang dipanggil menoleh, dan menanyakan ada apa. Louisa kembali melirik murid-murid lain sebelum bertanya pada Rara.
"Kenapa si mereka ngeliatin gue? Gasuka sama gue?" Tanyanya blak-blakkan. Toh kalau memang benar ia bodoamat dan bisa saja balik ke Belanda.
Yang ditanya terdiam, lalu dengan setengah berbisik ia menjawab.
"Soalnya lo duduk di bangku keramat."
Louisa menyatukan alisnya dan dengan cepat menoleh ke samping. Oke, ia tidak tau siapa teman sebangkunya itu atau apa maksud perkataan Rara. Tapi,
Louisa, welcome to the hell.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebastian : My Perfect Fiancee
Teen Fiction"Siapa juga yang mau jadi tunangan cowok barbar kek lo." Louisa pikir kepulangannya ke Indonesia hanya untuk menghabiskan waktu liburan sekolah. Namun siapa sangka jika liburan itu menjadi titik balik hidupnya. Ia tidak pernah membayangkan jika...