21

181 91 7
                                    

°|•°'Namjoon pov

Takdir.

Bisakah kau mendeskripsi kan tentang apa itu yang namanya takdir? Atau apa pandangan yang kalian punya mengenai yang namanya takdir?

Jika kalian bertanya kepadaku tentang apa itu takdir. Maka aku akan menjawab bahwa takdir adalah musuh terbesar didalam hidupku.

Mengapa bisa begitu? Karena takdirlah yang membuatku harus menderita penyakit sialan seperti ini.

Karena takdirlah yang membuat semua impian dan kebahagiaanku sirna seketika.

Dan karena takdirlah yang membuat diriku harus kehilangan sosok yang paling aku cintai diduni ini.

Impian untuk membangun sebuah rumah tangga bersama dengan gadis yang dicinta. Impian untuk bisa tinggal disatu atap yang sama, dan berbagi kamar satu sama lain.

Mendengar gelak tawa anak anak yang tengah berlarian dengan anjing peliharaan di ruang keluarga.

Juga impian untuk menghabiskan masa tua dengan sang pujaan hati. Kini itu semua hanya tinggalah angan semata.

Jika saja bisa, aku ingin sekali memutar waktu kembali. Dimana saat itu aku sama sekali belum mengenal sosoknya. Kim Sinha.

Aku berharap untuk tidak pernah dipertemukan dengan dirinya jika memang harus berakhir seperti sekarang ini.

Tuhan, lebih baik kau cabut nyawaku sekarang. Aku tidak bisa melihatnya menangis dan menderita karena diriku.

Biarkan aku pergi jika itu bisa menghapus seluruh dosaku kepadanya. Aku memohon.

"Kurasa.. A-aku sudah tidak ada urusan lagi disini. Uhuk, Lei lebih baik kita pergi sekarang! Dan untukmu Sinha, urusan kita sudah selesai sampai di sini.

Jadi aku berharap bahwa kita tidak akan pernah bertemu lagi. Uhuk, aku sudah cukup muak melihat kalian semua.

Leina, ppalli gaja! " Ucapku mengakhiri sandiwara yang sedari tadi terjadi, lalu meminta Leina untuk membantuku berdiri.

Karena jujur, tubuhku rasanya sakit sekali bahkan sekarang mulai mati rasa. Sehingga aku harus melingkarkan tanganku pada bahunya agar bisa berdiri dengan seimbang.

"Jamkkanman! " Namun sebelum sepenuhnya beranjak dari sana. Panggilan seseorang telah berhasil membuat langkah kami terhenti seketika.

"Sebelumnya, terimakasih.. Terimakasih karena sudah berhasil menghancurkan hati dan kepercayaanku. Dan... Selamat tinggal.. "

Hatiku serasa perih bagaikan tersayat oleh pisau belati di saat mendengar penuturan darinya.

Tanpa berbalik menghadap kearah Sinha aku pun menjawab. "Selamat tinggal.. "

Leina menuntunku kearah mobil yang terparkir di halaman depan kampus. Mendudukan tubuhku perlahan di kursi penumpang.

Sedangkan Leina duduk di kursi kemudi. Tangisku pecah seketika di saat Leina menggenggam tanganku dengan begitu lembut.

"Hikss... hikss aku jahat Lei! Aku bodoh! Dasar lelaki brengsek SIALAN!.. " Ucapku meracau sembari berteriak dan menangis kencang.

End of Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang