=
Dada Mareta naik turun cepat mendengar suara desahan yang berbeda, lebih jelas satu diantaranya. Begitu keras. Begitu merusak pendengaran. Ia jengah. Sangat lelah tapi tak akan pernah bisa tidur dengan suara yang begitu mengganggu. Lebih baik berada di antara bisingnya preman tawuran atau demo, atau cewek-cewek saling jambak dan silat lidah, bahkan di tengah peperangan sekalipun, daripada berusaha memejamkan mata dalam keadaan yang harusnya hening damai dan malah dirusak oleh desahan, erangan, bantingan, dan semacamnya tepat di ruangan samping.
Nenek pasti sedang tak di rumah sejak sore tadi. Iya, sudah pasti tidak ada.
Ketika mendengar derap langkah kaki menuju dapur disusul bisik-bisik dengan telpon, Mareta bergegas bangkit dari ranjangnya dan keluar kamar. Ia meloncati jendela kamar abangnya dan menarik paksa rambut panjang wanita jalang yang sedang terengah di atas ranjang. Mareta tak akan peduli sekeras apa tangannya menarik rambut wanita yang lebih tua darinya itu, membantingnya jatuh ke atas lantai untuk digeret keluar.
"Lo boleh jadi pendosa, tapi jangan bikin abang gue sama kayak lo!" bisikan Mareta begitu tajam. Telinga gadis itu seolah sudah tuli, tak peduli dengan jeritan wanita yang digeretnya. "Jerit aja sono panggil nama Tuhan lu! Kali aja Dia mau mengampuni pendosa kayak lo."
"MARETA!"
Febrian melotot dan spontan menarik lengan adiknya dengan kasar. Tak disangka tangan Mareta begitu kuat menjambak rambut wanita jalang itu. Frisca, pacarnya. "Mareta, lepas! Lo apa-apaan sih?!!" bentak Febrian, menarik-narik tangan Mareta sekuat tenaga. Plak! Hingga tamparan itu mendarat dahsyat di pipi Mareta, berhasil membuat gadis itu melepaskan tangan dari rambut Frisca dengan mendorongnya kasar hingga terjerembab ke lantai.
Mata Febrian membulat hampir keluar dari tempatnya. Memegangi kedua lengan Mareta.
"WHAT THE HELL IS WRONG WITH YOU, HUH??!! WAKE UP MAR, WAKE UP!"
"Hah? Gue? Wake up?" Mareta sudah seperti orang gila. Tatapannya nyalang. "Seharusnya lo yang wake up, goblok! Sadar lo! Ngaca!"
Praang! Cermin oval antik peninggalan kakek kini pecah berkeping-keping, bahkan mengenai Frisca yang masih sesenggukan di atas lantai dimana cermin itu tadinya tergantung di dindingnya. Kepingannya Mareta pungut. Digenggam erat-erat hingga darah mencuat dari dalam sana.
"Nih, ngaca deh lo, ngaca!!!" Tanpa sadar, kepingan itu ia lempar ke hadapan Febrian, mengenai dada bidang laki-laki itu. "Lo nggak ada bedanya sama ibu!" seru Mareta kemudian.
Febrian mendecih. "Gue? Mending lo sendiri yang ngaca! Yang bikin ibu mati siapa? ELO, ANJING!" tangannya mendorong pundak Mareta. "Lo yang bunuh ibu! Lo bunuh ibu lo sendiri! Atas dasar apa, hah?? Lo kira lo nggak sengaja dorong dia sampe jatoh? Iya? Jangan kira karena lo masih kecil dosa lo diampuni Tuhan! Dosa lo gede, Mar! Ke ibu lo sendiri! Bahkan lo hidup dengan kutukan ya—"
Bugh!
Tinjuan yang keras. Wajah Febrian terpental kencang ke kanan. Mareta benar-benar dikuasai amarah. Sorot matanya membara, menatap abangnya sendiri seolah ingin membunuhnya.
"At least i saved you." dan Mareta lebih memilih untuk melangkah pergi, sebelum dirinya lepas kendali.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionWallflower; (noun) You see things. You keep quiet about it. And you understand. - - - Lihatlah dengan jelas! Semua ini hanya tentang Hujan dan Samudra. Selalu, seperti itu. p.s.: seharusnya, tidak dirasakan saja. (( UPDATE TIAP TGL 5, 15 & 23 ))