Kebul asap menyongsong keluar menguara di udara, ricauan mulut manusia membuat pening kepala semakin melandah, menghela napas, sambil menekan-nekan bunyi klakson berulang kali nyatanya membuat pergerakan mobil tidak ada perubahan. Dia berpikir apakah ini di kota Jakarta, kenapa sampai mengalami macet mendadak seperti ini.
Jam hampir menunjukkan pukul 17.15 menit tidak ada waktu yang membuatnya harus berdiam diri di jebakan macet seperti ini. Bagaimanapun sebelum magrib berkumandang dia harus segera sampai tujuan, belum lagi suara ponsel yang bergetar beberapa menit lalu menimbulkan kegaduan hati tak henti-hentinya. Ibunya membuat stagnan bermenit-menit, berulang kali menelpon dan menanyakan sudah sampai mana. Sedangkan dirinya dan kendaraan tak bergerak seincipun selama hampir sepuluh menit ini.
"Apa, terjadi sesuatu didepan pak?" Alri menurunkan kaca mobil sebelum berucap, ia bertanya ke seorang supir sebelahnya, "Sepertinya terjadi sesuatu kecelakaan pak, seorang pengendara motor sama mobil tabrakan," jawabnya dengan wajah santai, tak seperti Alri yang sudah bernapas frustasi selama beberapa menit.
"Apa tidak ada jalan pintas sekitar sini pak,?"
"Ada. Tapi anda harus putar balik ke sebelah kanan, memangnya bapak mau? Posisi mobil bapak sama dengan saya di tengah-tengah, tidak bisa kemana-mana pak."
Alri mengusap wajah frustasi, menyenderkan kepala kebelakang kemudi sambil terus mengatur napas. Benar, perkataan bapak tadi, mau bagaimana lagi Alri tidak bisa keluar jauh selain menunggu korban di evakuasi lalu jalan di buka kembali.
Alri mengambil ponsel untuk menghubungi ibunya, perjalanan seperti ini sudah mengakibatkan keterlambatan tepat waktu. Tidak ada alasan yang akan ia berikan selain memang harus menjelaskan semuanya.
"Hallo, assalammuallaikum,?"
"Waallaikimsallam, Alri, kamu sudah sampai mana sih? Apa terjadi sesuatu. Ummi benar-benar khawatir nak, kamu sampai mana."
"Ummi tenang, tidak usah khawatir. Alri memang ada sedikit kendala, disini terjadi kecelakaan hingga menimbulkan kemacetan, tapi Al yakin beberapa menit lagi sudah berjalan normal lagi."
"Tapi Al mohon, Ummi tunggu beberapa menit lagi ya, Al pasti akan segera sampai."
"Kamu yakin."
"Yakin, mi?"
"Ya sudah, Ummi akan tunggu kamu, dan—, dengan perempuan itu."
Alri menghela napas pelan, "Yah," telepon langsung tertutup, ia mendongak melihat langit yang sebentar lagi mulai gelap. Semburat merah jingga itu mulai muncul kepermukaan langit, mengarak terbenamnya matahari yang sebentar lagi mulai redum hilang. Apa baginya ini hanya mimpi? Semoga saja benar-benar adalah mimpi belakang setelah ia nanti sampai rumah.
Dan, perempuan itu? Alri tidak mau bertemu dengan perempuan itu sebenarnya. Memang tidak ingin.
Setelah turunya ia di bandara Internasional Soekarno-Hatta tahun lalu, dan merasakan ponselnya bergetar didalam saku, nomor tak di kenal, disaat itu lah muncul suara perempuan yang mengingatkannya tentang perempatan lorong gedung menjulang tinggi saat panas terik matahari. Ah, tidak. Itu tidak mungkin! Alri tidak mau menebak seperti itu, dan tak mau tebakaanya terlalu benar. Karena bagaimanapun dia sama sekali belum pernah melihat perempuan yang sekarang sedang berada di rumah ibunya.
***
Menghela napas ketika saluran telepon baru saja terputus. Fatimah, menatap seorang perempuan yang sedang duduk terpekur sendirian. Dari arah dapur ia berada, memperhatikan dengan seksama ia rasa perempuan itu begitu serius dengan tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
still the same || strangers
Spiritual"Falling for a stranger" ••• "Ingatlah namaku selalu-? namaku adalah Luna!!" Dan di saat hari itu Alri berfikir bantuan penuh tulus yang ia berikan adalah awal dari semua bencana di kehidupannya. Tidak ada angin atau hujan, tiba-tiba saja Alri dil...