48.
Baru saja ditinggal berberapa menit, sudah tidak bisa dimengerti ketika masalah baru terulang kembali. Ini yang paling susah untuk dipahami, jika ada suatu hal yang bersikeras untuk tetap disembunyikan lebih dalam lagi. Kalau seandainya tidak perlu untuk dipaksa, mungkin tidak akan bisa terjadi seperti ini.
Ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar, bagi keluarga Pamungkas dan juga keluarga Wardhana. Tapi, secara kutip dua dari sebuah kata, ada yang paling cocok untuk dijadikan pertanyaan secara garis besar; keluarga Wardhana.
Datang tanpa sepengetahuan, lalu mengambil alih seolah-olah dari dulu memang sudah memikirkan nasib putri semata wayangnya itu. Tidak ada yang bisa mengelak, ataupun mengambil bagian ketika keluarganya sudah mau memberikan kasih sayang kepada gadisnya sendiri.
"Bangun sayang, ada mamah disini."
Kalimat itu, tidak begitu familiar namun begitu bermakna ketika orang lain mendengarnya. Bukan kali pertama seorang ibu kandung memperhatikan anaknya. Bahkan, kalau dipikirkan lagi, ini seperti pertama kali yang dihadiahkan seorang ibu kepada putri satu-satunya.
"Tante, biarin Denira istirahat dulu. Nanti kalau udah sadar, Fabian pasti kasih tau tante."
"Tante mau disini aja, Bi, temenin Caca. Dia sendirian, tante takut Caca kenapa-napa lagi."
"Tenang aja, tan. Fabian ada disini, temenin Denira."
Semenjak kejadian Denira memaksa untuk duduk dibawah hujan tadi, masalah baru datang dengan membawa gadis ini harus dirawat di kediaman Pamungkas. Setelah meminta dokter untuk datang kerumah, dokter itu lebih menyarankan Denira untuk dirawat dirumah saja.
"Nggak ada yang perlu ditakutkan, tan. Dokter bilang, Denira hanya butuh istirahat yang cukup sama makan yang teratur."
"Tante hanya takut dengan kejadian yang menimpa pada adik kamu, justru kembali pada Caca. Tante nggak mau kalau Caca—"
Tangannya memegang kedua bahu Luna, menatapnya penuh pengertian lalu menyimpulkan senyuman. "Fabian ada disini tan, jangan khawatir. Ada banyak orang dirumah ini. Marsel, Rama, mamah dan juga temen-temen Denira maupun Marsel—juga ada didekat Denira."
Bagaimana pun watak seorang ibu, jika ia melahirkan lalu membesarkan seorang anak dengan kasih sayang, anak itu tetap menjadi anak dan akan selalu menjadi kebanggaannya.
Walaupun suka menyakiti, kadang sikap tidak enaknya masih tersedia didalam lubuk hatinya. Sekecil apapun masalah yang ada, seorang ibu akan tetap menjadi nomor satu dan tetap menjadi prioritas yang paling penting dalam hidup anaknya.
"Tante mau tidur disini, boleh?" tanyanya yang memberi saran kepada Fabian, lalu menatap gadisnya begitu khawatir. "Seandainya om Rizal tau Caca seperti ini, Caca semakin nggak diperbolehkan untuk bersama dengan Marsel lagi. Tante takut hidup anak tante nggak sesuai dengan pilihannya sendiri, Bi..."
Fabian mendengarkan cerita sedikit dari tante Luna begitu menghayati hatinya. Ternyata, tante Luna masih menginginkan putrinya jatuh kedalam pangkuannya dan hidup dengan semestinya. Kejadian yang menimpa pada Denira, hanya semata-mata tidak mau bahwa suaminya semakin mengekang hidupnya dan memberikan alasan bahwa keluarga Pamungkas tidak berarti apa-apa.
Matanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul 8 malam. Matanya masih saja tertutup rapat, lalu bibirnya masih enggan untuk bergerak mengatakan sepatah kata pun.
"Marsel, kemana Bi?" tanya Luna pada Fabian dengan melihat-lihat keadaan sekitar kamar. "Dia nggak tau, kalau Caca sakit begini?"
"Belum. Dia lagi pergi keluar sama Rama. Sengaja nggak Fabian kasih tau, takut bablas untuk pulang dan nggak mikirin hujan deras. Kata mamah, Marsel belum bisa untuk kena hujan lagi 'tan."
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021
FanfictionSemisal begini, "Jangan berlebihan, kita ini cuma sekedar teman," lantas, apa yang harus dikatakan pada hati? Tetapi, tunggu, lebih baik mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal? pilih yang mana? atau, lebih baik sekedar berteman atau dia...