I Coffee U

25 8 7
                                    

                          I Coffee U

Maura melangkahkankan kaki  menuju kedai kopi yang terletak persis di seberang kantornya. Sudah seminggu ini sepulang kerja dia menghabiskan waktu dengan mengunjungi tempat tersebut yang memang baru soft opening. Sembari jemarinya bergerak lincah di atas keyboard laptop yang selalu dibawanya, menorehkan isi kepalanya menjadi sebuah naskah cerita dengan ditemani secangkir kopi favoritnya.

“Selamat datang di kedai kopi kami, Kak,” greeting seorang waitress, yang dibalas Maura dengan senyuman.

Seraya berjalan menuju bangku di sudut dekat jendela, Maura memesan secangkir kopi kepada waitress tersebut. “Coffe late seperti biasa, ya.”

Sejenak waitress tersebut terdiam, tidak seperti biasa yang langsung merespon dengan, “Baik, ditunggu sebentar pesananannya, Kak.”

“Kenapa?” tanya Maura yang melihat waitress itu terdiam.

“Mm... maaf, Kak, tapi hari ini kami ada menu coffe spesial, item terbaru dari kami.”

“Oya? Apa itu?” tanya Maura penasaran.

“Silakan kakak duduk dahulu, saya siapkan coffe spesial untuk kakak.” Lalu waitress tersebut bergegas menuju kitchen.”

Seraya menunggu pesanannya tiba, Maura membuka laptop dan kembali menuangkan ide di kepalanya ke dalam laptop.

“Silakan, Kak... menu spesial dari kami untuk kakak,” ujar waitress tadi sembari menaruh secangkir cappucino late di hadapan Maura.

“Untuk saya?” Maura sedikit heran dengan ucapan waitress tersebut seolah menegaskan jika coffe tersebut disiapkan khusus untuknya, namun belum sempat dia bertanya lebih lanjut, sang waitress sudah berlalu.

Diteguknya coffe tersebut yang di atasnya terdapat latte art yang berbentuk love. “Cantik,” gumamnya sebelum menyesapnya.

Begitu coffe latte tersebut membasahi kerongkongannya, gadis itu membulatkan matanya. Hhhmm... cappucino. Tunggu, rasa coffe ini... sepertinya tidak asing untukku, tapi di mana aku pernah meminum cappucino dengan rasa seperti ini, pikir Maura. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menyimpan pertanyaan itu di kepalanya saja. Dan senja itu, dia pulang dengan membawa rasa penasaran terhadap citarasa kopi yang menurutnya tidak lagi asing dalam indera pengecapnya.

                               ***

Maura tengah asyik memainkan jemarinya mengetik naskah yang belum juga menemukan ujung kisahnya. Seorang waitress menghampirinya.

“Maaf, Kak... ini untuk kakak.”

Maura mendongak, mengalihkan pandangan dari layar laptop ke waitress dengan bingung. “Lho, tapi saya tidak pesan ini.”

“Mm... tapi ini diberikan cuma-cuma karena kakak telah menjadi pelanggan setia kami.”

Belum tuntas rasa herannya, ditambah lagi saat dia melihat namanya terukir indah di atas coffe tersebut. “MAURA
Seketika hatinya berdegup dua kali lebih kencang demi melihat latte art di atas kopi tersebut. “Ini... bagaimana bisa nama saya terukir di sini?” tanyanya pada sang waitress.

“Maaf, Kak... saya juga tidak tahu,  saya hanya disuruh mengantar ini saja.”

“Disuruh? Siapa yang menyuruh kamu?” selidik Maura. Bukannya menjawab, waitress tersebut malah buru-buru berlalu begitu saja, meninggalkan sejuta tanya di benak Maura. Didorong oleh rasa penasaran, Maura tergerak untuk menyesap coffe latte tersebut. Dengan tangan gemetar dia menggenggam cangkir tersebut dan tanpa mengaduknya diminumnya kopi itu. Kembali dia merasakan citarasa yang tidak lagi asing.

Cappucino latte ini... sungguh, aku pernah menyicipnya dan sangat menyukai citarasanya, tapi di mana?” Rasa yang tidak biasa dari secangkir cappucino latte berhasil mengaduk hati dan pikiran Maura, yang terus menggali ingatannya tentang rasa kopi tersebut.

                                ***

Sore itu, kembali Maura menyambangi kedai kopi langganannya—yang kini menyimpan misteri untuknya. Dan kali ini, dia datang untuk mencari jawab atas rasa penasarannya terhadap citarasa kopi cappucino yang diracik khusus itu, serta siapa yang telah menuliskan namanya di atasnya.

Sore itu berbeda, tak ada waitress yang menyapanya di pintu. Lengang. Maura lantas menuju bangku favoritnya di sudut dekat jendela.

Kenapa sepi seperti ini, tumben. Lalu ke mana para waitress yang biasanya bertugas? Apa mungkin mereka sedang ada brieffing di dalam, terka Maura. Gadis itu mengalihkan pandangan ke luar jendela sembari menunggu seorang waitress menghampirinya. Kemudian, tanpa diduganya secangkir cappucino latte mendarat di hadapannya, dan yang lebih mengejutkan di atasnya terdapat latte artI Coffee U”. Bola matanya membulat, dia pun mendongak dan mendapati seorang pria tengah berdiri di depan bangkunya. Seseorang dengan wajah yang tak asing pula untuknya.

Seketika Maura menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan begitu mengenali siapa pria tersebut. Lalu, “D-Darren? Kamukah ini?” tanyanya tak percaya. Pria tersebut tersenyum lebar seraya mengangguk.

“Apa kabar, Maura?”

“Ren, jadi kamu yang selama ini mengukir latte art di atas cappucino itu?” Lagi-lagi Darren mengangguk.

“Ya Tuhan... pantas saja aku tidak asing dengan racikan cappucino itu, ternyata kamu barista-nya, huh?” kata Maura dengan berbinar.

Darren lantas duduk di hadapan Maura, sembari menceritakan mengapa dia bisa seperti ini—berperan sebagai barista sekaligus owner dari kedai kopi tersebut. Ternyata semua itu karena Maura—gadis yang dicintainya sejak SMA, penyuka cappucino latte. Hingga selepas SMA Darren memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Luar Negeri, sembari mendalami seluk beluk tentang kopi khususnya cappucino ini, berharap kelak semesta kembali mempertemukannya dengan Maura dan bisa mempersembahkan kedai kopi tersebut untuk pujaan hatinya; si penyuka cappucino.

Maura dengan hati yang berbunga dan mata menghangat begitu khusyuk mendengar kisah Darren—lelaki yang menjadi cinta pertamanya kala SMA. Sungguh dia tidak menyangka akan kembali bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini.

“Maura... will you be mine?” ucap Darren sembari menggenggam kedua tangan Maura.

“Dengan secangkir cappucino racikanku ini, aku melamarmu,” sambung Darren dengan netra yang lekat mengunci manik mata Maura.

Tanpa menunggu lagi, Maura segera mengangguk, mengiyakan permintaan Darren.
“Iya, aku mau, Darren,” tegasnya.  

_Selesai_


Solo, 07 Juni 2020
-Lovely Vie

I Coffee UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang