Chapter ini ga panjang sih. Soalnya ngetiknya cepet2 juga. Tapi kan kata pepatah "Sedikit-sedikit menjadi bukit". Ya ga apa2 lah ya pendek dulu. Nanti kalo vote nya banyak, baru dipanjangin. Eaaa.
Makasih banyak ya Kakak2 yang udah selalu vote dan komen mendukung 😘😘
***
Setelah segala kegalauan selama dua minggu, Haiva jadi kaget sendiri ketika menyadari bahwa saat dirinya masuk ke dalam aula resepsi tersebut, dan melihat Arya dan Amel berdampingan di pelaminan, ternyata dirinya tidak merasakan sakit yang ditakutkannya selama ini.
Ia mungkin merasa menyesal karena sudah menyia-nyiakan waktunya bertahun-tahun memendam rasa kagum dan suka pada Arya. Ia mungkin berandai-andai, jika dirinya lebih berani menyatakan perasaannya, apakah masa depan akan berubah? Tapi anehnya, Haiva tidak lagi merasakan sakit yang menyesakkan dada seperti ketika beberapa bulan lalu ia mendengar Arya melamar Amel.
Barangkali kegelisahannya selama 2 minggu ini bukan karena dirinya masih kecewa atau masih menyimpan rasa pada Arya. Barangkali Haiva hanya merasa khawatir dirinya akan tampak mengenaskan di hadapan mantan gebetannya jika ia datang sendirian ke resepsi tersebut. Tapi ketika ia menyadari kehadiran banyak teman-teman sekelasnya yang juga datang tanpa pasangan (karena Amel adalah teman sekelasnya semasa kuliah, sehingga banyak teman sekelasnya yang juga datang pada acara itu), Haiva merasa perasaannya lebih ringan.
Bodohnya dia. Harusnya dia tahu, bahwa dia tidak perlu orang lain untuk terlihat kuat. Dia harus menjadi kuat dengan dirinya sendiri. Dirinya akan baik-baik saja menghadiri resepsi pernikahan itu, meski tanpa didampingi siapapun. ....
.... "Iva akan baik-baik saja di dalam sana, tanpa saya".... seperti kata Pak Haris tadi.
Dan teringat Haris, mood Haiva jadi buruk lagi.
Sebenarnya suasana hati Haiva yang gelisah selama 2 minggu itu sudah membaik sejak tadi ia naik ke mobil Pak Haris. Obrolan, bahkan perdebatan dengan Pak Haris, berhasil membuat Haiva tidak terlalu merisaukan nasibnya di resepsi pernikahan Arya. Tapi sayangnya kata-kata Haris sebelum dirinya keluar dari mobil, justru menghancurkan mood Haiva.
Lucu, kini Haiva justru menghadiri pernikahan lelaki yang pernah disukainya dengan santai, tapi justru gelisah karena laki-laki lain.
Salah seorang teman sekelasnya yang baru datang menyambar lengannya. Lalu mereka terlibat percakapan reuni singkat sebelum bergabung dengan beberapa teman sekelas mereka yang lain.
"Udah pada ngasih selamat ya?" tanya Haiva. Pengen nyari temen yang belum ngasih selamat, supaya bisa ngasih selamat bareng.
"Belum, Va," jawab Rico, sang ketua angkatan. "Tapi kayaknya nanti aja sekalian foto bareng angkatan. Sekalian ngasih piala bergilir. Sekarang makan dulu aja Va."
Berdasarkan pengalaman Haiva beberapa kali kondangan, foto angkatan dan penyerahan piala bergilir dilakukan hampir di akhir acara. Padahal dirinya tidak punya waktu banyak. Dia harus segera keluar karena ada yang menunggunya di tempat parkir.
"Gue abis ini masih ada urusan," kata Haiva pada Rico. "Jadi gue nggak ikutan foto bareng yak."
"Ngapain lo?" tanya Lusi, temannya yang tadi merangkul lengannya di pintu masuk saat baru datang. "Pacaran?"
Melihat muka Haiva yang manyun Lusi tertawa. "Kerjaan?"
"Yeahhh, boleh dibilang begitu," jawab Haiva samar.
"Budak korporat, dasar!"
"Halah! Kayak nasib lo lebih baik daripada gue aja."
Lalu mereka tertawa bersama. Menertawakan nasib sebagai budak korporat, staf junior dengan pengalaman kerja baru 2 tahun, sehingga selalu menjadi yang paling sibuk disuruh ini-itu dengan dalih "pembinaan". Hahaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA YANG TIDAK DIMULAI
RomanceWORK SERIES #1 Aku selalu berandai-andai. Andai aku terlahir lebih lambat, atau kau terlahir lebih cepat. Apa kita bisa bahagia? First published on May 2018 Final chapter published on August 2020 Reposted on December 2021