Layaknya pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, seperti itulah kehidupan cintaku. Semua terasa tak ada yang berjalan mulus. Tak ada yang ingin kulakukan selain mendekam di balik selimut dalam kamarku yang nyaman. Namun jatah cutiku sudah habis. Setelah pulang dari Bandung, aku langsung mengambil cuti selama tiga hari. Kecuali kantor milik nenek moyangku, sayangnya bukan, jadi aku harus tetap mengangkat tubuh yang terasa semakin berat ini untuk menunaikan kewajiban.
Selama cuti, ponsel kumatikan. Hana datang ke rumah, dengan sangat memohon maaf aku memintanya pulang. Aku benar-benar ingin mengubur diriku sendiri. Tidak bertemu dan bicara dengan siapa pun, dengan begitu aku berharap lukaku akan sembuh sendiri. Namun kali ini terasa sangat berat. Setiap kali aku ingin membencinya, bayangan tentang ciumannya yang tiba-tiba malam itu pun muncul.
Kenapa juga kalau mau nolak harus pake acara cium dulu? Pertanyaan itu terus menari-nari dalam benakku. Membuat otakku yang rasanya sudah agak miring semakin miring.
"Jatah cuti lo udah habis?" Hana mengambil kursi dan duduk di sampingku.
Aku mengangguk. "Apa gue resign aja, ya?" Pikiran itu bahkan terdengar gila bagiku sendiri.
Hana menarikku dalam pelukannya, "Semua pasti baik-baik aja, Minori. Selalu begitu. Lo selalu bisa bangkit dari masa-masa sulit."
Aku terdiam. Namun air mataku mengalir tanpa suara. Beruntung, hanya ada aku dan Hana di ruangan itu. Sebagian sedang tugas luar dan yang lain sedang makan siang.
"Gue menyedihkan banget ya, Han?" tanyaku di tengah isakan. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.
Hana melepaskan pelukannya kemudian menggenggam tanganku. Berulang kali kata-kata ini dia ucapkan, dia meminta maaf karena telah mengenalkan Ersad padaku. Jika dia bisa memutar waktu, dia tidak akan pernah meminta Ersad untuk bekerja sama dengan kami. Aku tertawa sinis, jika Hana memiliki kemampuan semacam itu, aku akan meminta kembali ke masa saat aku belum mengenal cinta. Lalu bersumpah tidak akan pernah dikecewakan berkali-kali seperti ini.
***
Aku baru tahu, patah hati bisa membuat waktu berjalan lebih lambat. Mungkin itu salah satu cara waktu menyembuhkan luka, dengan cara berjalan lebih lambat. Menyiksa batinku yang ingin esok hari segera datang dan akhir pekan di depan mata, sehingga bisa mengurung diri seharian di kamar.
Namun kenyataannya, ini baru hari Selasa jam 5 sore. Saatnya pulang. Kumatikan komputer dan membereskan beberapa berkas di meja. Saat hendak bangkit, aku terkejut saat melihat Emir bersandar di kubikelku. Awalnya aku ingin mengacuhkannya dan berjalan pulang, namun dia menahan tanganku.
"Ramlan, ayo. Saya antar." Tanpa menunggu persetujuan, Emir menarik tanganku menuruni gedung perkantoran menuju parkiran motor. Dia menyerahkan helm warna putih dan memintaku memakainya.
"Gue nggak butuh diantar. Bisa naik bus." Kukembalikan helm di tanganku, namun Emir tampaknya memilih mode budek, alias menganggap ucapanku bagaikan angin lalu. Dia memundurkan motornya dan tetap dalam posisi itu hingga aku akhirnya mengalah dan memutuskan naik. Kupasang tali helm dan mengembuskan napas kesal.
Motor Emir pun melaju membelah kemacetan Jakarta. Sejujurnya aku merasa beban di dadaku sedikit berkurang saat angin menerpa wajah. Saat arah motornya tidak menuju rumahku pun aku memutuskan untuk diam. Aku tahu persis, Emir sedang berusaha untuk membuatku tersenyum lagi.
Tepat ketika senja, kami tiba di pantai Ancol. Emir turun dari motornya dan membantuku melepas helm. Aku pun tidak menolak ketika dia mengajakku duduk beralaskan pasir sambil menyaksikan matahari tenggelam. Kami duduk dalam keheningan. Emir dan aku menatap matahari terbenam tanpa kata-kata.
"Kamu tahu, Ramlan, saya nggak pernah ingin lihat kamu sakit," ujarnya setelah keheningan panjang.
Jika kata-kata itu keluar dari mulut Arik, mantan sialanku, bisa dipastikan sepatuku melayang ke mulutnya saat ini juga. Atau jika saja itu keluar dari Ersad, pasti aku merasa seperti baru saja menang togel. Namun ini keluar dari Emir, rekan kerja yang bisa dibilang sudah aku anggap adik karena perbedaan usia kami. Memang sebelumnya kami pernah terlibat kencan buta, tapi kan, itu suatu kesalahan.
"Tiap lihat kamu, berkali-kali saya tanya ke diri saya, apa yang bisa saya lakukan? Saya sudah tahu, akan begini akhirnya jika berurusan dengan Ersad." Matanya masih menatap matahari yang semakin turun.
"Mir, gue baik-baik aja," sahutku cepat.
Dia menoleh, menatapku sekilas. Rambutnya yang biasanya rapi kini terlihat acak-acakan terkena angin. Tatapannya membuatku salah tingkah. Emir dan Ersad sama-sama menawan tapi dalam proporsi yang berbeda. Emir memiliki sisi wajah yang lembut, tatapan dan senyumnya kayak ubin masjid, adem. Sementara Ersad, garis rahangnya tegas dan tatapannya tajam. Beberapa orang yang bekerja dengannya memilih menghindari kontak mata dengan Ersad karena tatapannya bikin orang jiper.
"Beneran! Gue nggak kenapa-kenapa." Tanganku menepuk lembut pipinya, bermaksud membuatnya tidak lagi menatapku dengan cara seperti itu. Namun dia menangkap tanganku kemudian mengecupnya.
"Kasih saya satu kesempatan, Ramlan. Biar kamu tahu bahagia itu apa."
Saat ini aku pun berandai-andai. Andai saja hatiku tidak terpatil pada Ersad, sudah pasti aku akan langsung memberinya satu, ah, bahkan puluhan kesempatan untuknya. Jujur saja, dia terlalu manis untuk dilewatkan.
***
Apakah semua orang menikah dengan perasaan cinta yang menggebu-gebu?
Pertanyaan itu muncul secara random dalam pikiranku. Bagaimana bila hanya satu pihak yang sangat mencintai, sementara pihak lainnya tidak memiliki perasaan yang sama? Seperti aku dan Ersad atau Emir dengan aku. Apakah pernikahan akan berjalan baik-baik saja jika perasaan kedua pihak tidak sama?
Hana pernah berkata, akan memilih hidup dengan seorang pria yang mencintainya setengah mati walaupun dirinya tidak memiliki perasaan yang sama. Alasannya mudah, dia tidak akan sakit hati menjalani hubungan seperti ini. Hana berusaha membuat dirinya terhindar dari rasa sakit dalam bentuk apa pun. Perasaan sakit diacuhkan seperti yang Ersad timbulkan padaku, adalah hal yang membuat Hana alergi.
Setelah mengalami pemutusan dari Arik dan penolakan dari Ersad, bisa dibilang aku sedikit setuju dengan perkataan Hana. Dicintai tentulah lebih aman ketimbang mencintai. Namun perkara hati siapa yang bisa menebak?
Hati bukan seperti mobil, di mana otak berperan sebagai tukang parkirnya. Sebesar apa pun pengaruh otak untuk meyakinkan hati bahwa mencintainya sama saja menyakiti hati, tidak akan berguna. Hati adalah pemberontak sejati. Semakin dilarang semakin menjadi. Dia akan menyusup, menemukan celah untuk membenarkan apa yang dirasakannya. Membuat otak akhirnya menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah menakjubkan?
Hatiku sekarang memutuskan tak lagi mendengar apa yang diperintahkan otak, sering kali justru melawannya. Ketika aku memutuskan tidak memikirkan Ersad lagi, hatiku menahan rindu setengah mati. Ingin rasanya menekan tombol call ketika melihat kontaknya di ponsel. Satu saja yang masih menahan kakiku untuk tidak berlari ke kantornya, yaitu harga diri. Harga diri yang setelah dicampakkan cinta berulang kali masih tersisa sedikit dalam diriku.
Aku dan Emir tidak lama duduk di pantai, kami memutuskan untuk pulang karena langit mulai gelap dan anginnya terasa semakin kencang sementara aku tidak membawa jaket. Dalam perjalanan pulang, kusandarkan kepalaku di punggungnya, seakan hal itu bisa membuat bebanku sedikit berkurang.
Ketika pikiran sedang kacau, pergi keluar adalah salah satu obat terbaik. Sebenarnya keinginanku sangatlah kuat untuk mengunci diri di kamar sepulang dari kantor, namun hal itu justru membuatku semakin merasa kesepian. Embusan angin, hangatnya sinar matahari yang akan terbenam, serta perhatian dari orang lain membuatku berpikir bahwa hidup tidaklah semenyedihkan itu.
Jika keadaan tidak bisa diubah, maka pola pikirkulah yang harus berubah. Mungkin memang saat ini belum takdirku bertemu seseorang. Mungkin aku harus bersabar dan menutup telinga ketika banyak yang bertanya kapan menikah. Meskipun berat, namun kuputuskan tidak lagi berharap untuk memiliki pasangan dalam waktu dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minori Mengejar Cinta (TERBIT)
ChickLitGagal menikah di usia 33 tahun tidak membuat Minori patah semangat. Dia percaya, suatu hari cinta sejati akan datang padanya. Berbeda dengan Minori, Ersad justru tidak percaya dengan cinta. Trauma masa lalu membuat pria berusia 35 tahun itu memutus...