Bandung

61 9 5
                                    

Minhee berencana pulang hari ini dari Bandung. Perjalanan kali ini dimaksudkan untuk mengantarkan kepergian Bulan yang sebentar lagi mulai berkuliah. Minhee dan ketiga teman lainnya sudah sering sebenarnya pergi ke Bandung.

Mogu, lelaki yang kerap menggunakan jam tangan hitam itu kini tengah fokus menyetir. Sebelum pulang rencananya mereka akan membeli beberapa oleh-oleh terlebih dahulu.

Padahal kerjaannya tiap bulan ke Bandung. Baru kali ini mereka punya ide beli oleh-oleh. Faktor terbesar kenapa mereka menuju Kartika Sari kali ini dikarenakan ibunda Mogu ngidam molen pisang. Lucunya, Ibunda Mogu yang sudah berkepala empat itu bahkan tidak mengandung. Hanya saja kelakuannya seperti orang yang hamil trimester pertama, alias mau ini itu dan harus dituruti. Begitulah kira-kira keluhan yang Mogu racaukan selama perjalanan dari Jakarta menuju Bandung.

"Lan, lo semester ini bakal jarang balik ya berarti?" Mogu dari balik stirnya melirik Bulan yang berada di baris kedua melalui kaca spion.

Mendengar perkataan Mogu lamunan Bulan buyar seketika. Sebelumnya, pikiran Bulan dipenuhi oleh banyak hal. Seperti bagaimana dia akan menjalani perkuliahan tingkat duanya sebagai mahasiswa teknik sipil. Bulan sedikit tidak menyangka kalau cowok itu akan lulus penjurusan pilihan pertamanya. Tidak sia-sia Bulan belajar tiap pagi petang selama masa TPB.

"Semester ini gue udah dapet jurusan. Sibuknya bukan cuman karena akademis doang tapi ospek juga, Gu."

Hyungjun kemudian turut membuka percakapan. Sebagai siswa kelas dua belas Hyungjun punya banyak sekali pertanyaan perihal dunia perkuliahan. Oleh karena itu, ketika Mogu, Wonjin, ataupun Bulan membicarakan soal perkuliahan mereka adrenalin Hyungjun turut meningkat. Terlebih cowok itu masih belum punya rencana akan melanjutkan pendidikan ke mana.

"Capek ya jadi anak Teknik. Kayanya, gue mau skip aja setelah mendengar keluh kesah lo selama ini," tandas Hyungjun.

"Nggak mau coba Bisnis aja kaya Mogu?" Si anak tengah akhirnya membuka suara. Mahasiswa jurusan hukum yang kini merantau di tanah Yogya. Alasan cowok itu memilih Yogyakarta untuk menimba ilmu adalah karena dia jenuh dengan suasana Jakarta serta Jawa Barat yang menurutnya kurang bersahabat. Terlebih, Wojin juga sangat tertarik dengan budaya Jawa apalagi keraton.

"Gue lebih berminat sama jurusan lo si, Ka."

"Jangan, jadi anak hukum berat biar aku saja." jawab Wonjin dengan memplesetkan kutipan terkenal dari film Dilan tersebut. Sejujurnya, cowok itu juga merasa geli mengucapkannya.

"Nggak coba seni rupa atau DKV?" tanya Minhee yang semula hanya menyimak percakapan teman-temannya tersebut.

"Kok lo bisa nyaranin itu, He?" Pertanyaan Minhee ditanggapi dengan sebuah pertanyaan lagi. Hyungjun dengan mukanya yang berkerut heran mengintip ke baris paling belakang. Cowok yang ditatap masih bertahan dengan poisisi rebahan serta matanya terpejam.

Merasa diperhatikan akhirnya Minhee mendudukan tubuhnya. Cowok itu agak tidak nyaman kalau misalnya diperhatikan secara intens. Oleh karena itu, ketika dia telah duduk tegap di barisan paling belakang Minhee menyentuh pipi Hyungjun dan mendorongnya agar kembali menghadap ke depan.

Minhee mengedikkan bahunya. "Kedua jurusan itu lo banget."

Mendengar penuturan Minhee membuat Hyungjun merasa kecewa. Jauh di lubuk hatinya Hyungjun juga tahu bahwa jurusan yang berhubungan dengan seni terutama seni menggambar merupakan hal yang dia dambakan. Sayangnya, dalam kamus keluarga Hyungjun seni bukanlah cita-cita yang logis.

"Lo tau sendiri Min, gimana kolotnya keluarga gue."

Jawaban Hyungjun membuat suasana menjadi sedikit canggung. Sejurus kemudian, Mogu mengambil alih percakapan demi menghindari suasana semakin tidak nyaman.

"Lo sendiri gimana? Diliat dari track record lo selama ini. Sebenarnya semua jurusan bisa lo masukin, STEI ITB dan FK UI pasti bukan masalah."

"Niatnya FK UI."

Merasa jawaban Minhee menggantung Mogu lantas kembali melontarkan pertanyaan. Cowok itu berusaha memancing Minhee untuk mengatakan yang sesungguhnya. Yang mungkin saja dia ragu-ragu untuk katakan.

"Tapi?"

Minhee mengehela napas, "Bokap suruh gue apply di Jerman."

Pada saat itu juga, keempat sekawan mereka tahu bahwa ayah Minhee telah memberikan ultimatum yang tidak bisa diganggu gugat.

-

I'm just a puppet.


Hidup gue bukan milik gue. Ini milih mereka, ayah dan bunda. Apa yang gue lakukan harus sejalan dengan apa yang mereka inginkan. Gue bahkan udah lupa bagaimana rasanya punya mimpi? Karena selama ini gue hidup dengan pecutan mereka.

Belok kiri. Belok kanan. Jangan begini. Jangan begitu. Harus seperti ini. Harus seperti itu.

Mereka nggak pernah memberikan hak memilih kepada gue. Semua asa dan mimpi yang gue perjuangan mereka patahkan dengan kalimat,

"Kami lakuin ini semuanya buat kamu."

Haha. Buat gue? Apa mereka pernah sedikit aja memikirkan apa yang gue rasakan dan bukan hanya memandang dari segi rasionalnya aja?

Gue manusia bukan sebuah mesin.

Meskipun begitu, gue nggak bisa membenci mereka. Padahal sumber kesengsaraan terbesar gue sepertinya datang dari mereka. Tapi, gue juga nggak bisa bohong kalau dulu ayah dan bunda juga sumber kehangatan gue.

-KMH

DefaitismeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang