Denting Hati

12 2 0
                                    

Lonceng yang menggantung di pintu itu berdenting, pertanda bahwa pintunya terbuka. Seorang gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu dan nafas yang tersengal-sengal, tampak masuk dengan raut muka yang bersalah. Dia terlambat.

"Pukul berapa ini?! Dan lo baru dateng?" Wanita berambut pirang yang berdiri di meja kasir terdengar mencibir kedatangan Nalin.

"Saya dapet tugas hukuman dan saya harus ngerjain dulu, Kak. Maaf." Nalin menatap takzim wanita yang usianya terpaut 8 tahun darinya itu.

"Cepet ganti baju. Gue udah buru-buru harus pulang. Anak gue pasti udah nungguin."

Tanpa menjawab, Nalin segera berlari ke ruang ganti untuk mengganti seragam sekolahnya dengan seragam pegawai minimarket. Ia paham mengapa kak Bet—begitu dia menyebutnya—marah dengannya. Karena seharusnya ia sudah menggantikan posisinya di meja kasir, empat puluh lima menit yang lalu. Ini kali pertamanya, dia begitu terlambat.

"Udah, Kak. Cepet balik. Kasian Kila nunggu. Bilangin minta maaf dari kak Nalin ya, udah bikin Kila nunggu," ucap Nalin sembari keluar dari ruang ganti pada Bet yang masih menyandarkan sebelah bahunya di pintu kaca yang setengah terbuka.

"Hati-hati ya, Lin. Gue balik dulu. Si kasur lipat lagi nyari bahan bakar buat perutnya. Paling 10 menit lagi balik." Tanpa menunggu jawaban dari Nalin, Bet langsung bergegas pergi meninggalkan minimarket.

Kasur lipat adalah sebutan untuk Podang, pria bertubuh gempal yang bertugas menata barang-barang, yang notabene satu shift dengan Nalin. Sementara Bet, dia satu shift dengan Dana yang sudah dipastikan sudah pulang hampir satu jam yang lalu.

Belum sempat Nalin mendudukkan tubuhnya di kursi kasir, lonceng pintu kaca minimarket itu kembali berdenting.

"Selamat datang, selamat berbelanja!" sapa Nalin. Sementara gadis yang baru saja masuk itu, dilihatnya hanya menoleh sekilas dan tersenyum kecil tanpa benar-benar memperhatikan dirinya. Namun, seketika dahi Nalin berkerut. Ia merasa tidak asing dengan wajah itu, seperti pernah melihatnya. Namun ia menepisnya jauh-jauh. Pekerjaannya di sini membuat dia harus bertemu dengan banyak orang dan mungkin saja, gadis itu salah satunya.

Tak lama, gadis itu kembali ke meja kasir dan menyerahkan barang-barang belanjaannya. Hanya 2 botol air berasa dan 2 bungkus ekstra besar keripik kentang.

"Apa ada tambahan lain?" tanya Nalin.

"Tidak. Ini saja."

"Baik, akan saya total."

"Tunggu! Bukannya kamu..." ucapan menggantung dari gadis itu menghentikan pergerakan tangan Nalin yang hendak menghitung total belanjaan. Dia menoleh dan mereka bersitatap.

"Kamu yang waktu itu ketemu aku di depan toilet waktu orientasi kan?"

Lonceng pintu minimarket itu kembali berdenting.

***

"Jadi, kamu udah lama kerja di sini?" tanya Frela pada Nalin. Kini, mereka duduk bersisihan di kursi panjang depan minimarket yang sengaja disediakan untuk pembeli yang ingin beristirahat.

Sore itu minimarket sedikit sepi. Itu sebabnya, Podang mengizinkan Nalin untuk mengobrol dengan Frela di depan. Selama Nalin mengobrol, Podang lah yang menggantikan posisi Nalin di meja kasir. Pria berusia 23 tahun itu mengerti anak seusia Nalin seharusnya masih punya waktu untuk bercengkrama dengan temannya.

"Lumayan sih, Fre. Awalnya, gue emang cuma bantu bersih-bersih gitu. Tapi, lama-lama gue dikasih tempat gue sekarang ini, kerja di shift 2. Kalau hari minggu, sebelum gue di sini, gue kerja di tempat lain dulu, ngegantiin posisi kakak gue sementara karena sakit," lirih Nalin. Matanya menatap lurus ke depan. Ia tak menyangka bisa berbicara sepanjang ini tentang kehidupannya, selain dengan Kean.

CARUTWhere stories live. Discover now