Maretta : 4

208 91 54
                                    


"Lo takut ini ga?" Dia mengangkat mangkuk bakso itu dan mendorongku, sehingga posisiku sekarang berlutut dihadapannya.

Awalnya aku mengira dia akan membanting bahan keramik itu, tapi dengan senang hati dia malah menyiramkannya ke rambutku. seketika kurasakan panas menjelajar kedalam isi kepala dan perlahan-lahan masuk kedalam sel-sel otakku.

Aku mendongak  melihat senyum devil Meria, persis seperti Ratu Medusa. "Mer," ucapku memelas. Memohon dia menghentikan aksinya, tapi dia malah menaikkan sebelah alis kirinya dan mengode kedua temannya. Yoan dan Deslin.

Mereka berdua serempak menginjak pergelangan kakiku, Yoan dikaki kiri sedangkan Deslin di kaki kanan.

"Argghh," aku berteriak. Tapi percuma saja, ini jam pelajaran dan guru-guru pasti mengajar di kelas, hanya ada beberapa murid nakal di kantin ini. Kantin yang terletak paling pojok sekolah, dekat dengan pohon rindang yang besar tepat sekali untuk dijadikan tempat membolos.

Kalian menanyai ibu kantin? Ibu kantin ini takut dengan Meria, karena Ayah Meria punya hubungan langsung dengan sekolah ini. Begitulah Meria, seenaknya saja memperlakukan orang-orang yang berbeda kasta dengan dirinya.

"Sakit Mer,"  entah kenapa aku selalu saja mengucapkan kata itu berulang-ulang dan tidak bisa menindas balik dirinya. Aku terbiasa di tindas, jadi rasanya untuk menindas orang aku tak akan sanggup.

Sepatuku sudah terlempar tidak tau kemana arahnya, Yoan dan Deslin yang menedangnya. Tinggal tersisa kaos kaki putih yang membungkus sampai di pergelangan. Aku menggunakan kaos kaki pendek karena yang panjang kotor, ikut terkena cipratan air kemarin.

"Kenapa harus lo?" Dia menarik rambutku secara kasar dan menghadapkan langsung wajahku dengan dirinya, aku melihat matanya memerah menahan tangis. Kenapa Meria? Apa dia sedih melihatku tersiksa seperti ini?

"Gue benci lo" teriaknya tepat di depan wajahku hingga kurasakan air ludahnya yang menerpa wajahku, inginku usap wajahku tapi Yoan dan Deslin langsung mencekat tanganku.

"Kenapa lo lahir di dunia ini ha? Lo itu ga guna. Enyah aja lo sana!" rasanya rambutku akan terlepas ketika dia menarik secara kasar.

"Bangsat!" Umpatnya dan membanting keras mangkuk kosong itu tepat  di sebelah kakiku.

Aku terlonjak kaget bersamaan dengan kakiku yang berdarah akibat terkena paparan beling, refleks tubuhku langsung mundur. Aku takut melihat darah.

Seketika bayang-bayang berkelabat tentang darah yang mengalir di lantai keramik. Aku memegang kepalaku yang sakit, kenapa ini? Setiap kali aku mengingat tentang awal dari Phobiaku, selalu kurasakan sakit di bagian belakang kepalaku, sangat sakit.

"Sssttt ...," kepalaku pusing. Darah di kakiku semakin bercucuran ke lantai, di tambah lagi kaos kaki ku berubah warna akibat terkena darah.

"Mer, dia kenapa?" Kulihat Yoan dan Deslin ketakutan melihat kondisi diriku yang mengenaskan ini.

Tubuhku sudah bersimbah dengan keringat dingin. Aku memejamkan mataku jujur ini yang aku takuti orang-orang mengetahui kelemahanku, aku tidak mau mereka tau tentang Phobia ku ini.

Tangan dan bibirku sudah gemetar, beling-beling pecahan itu masih menempel di kakiku, rasanya sangat sakit Tuhan. Aku takut, terakhir kali aku melihat ini ... ah aku lupa. Kenapa setiap kali aku berpikir dari mana awal mula aku takut dengan beling tapi tidak bisa kuingat, kenapa bisa?

Kenapa semua ketakutanku tidak bisa ku ingat, aku merasa ini seperti tiba-tiba saja.

"Dih, malah keringetan nih anak!" Meria meneliti wajahku yang sudah berkeringat, mulai dari pelipisku sampai ke anak-anak rambutku. Jujur, aku sangat takut mendengar suara pecahan.

Aku tertunduk lemas seluruh badanku gemetar bahkan kakiku tidak bisa di gerakkan lagi. Mataku sudah memerah dan perih akibat menahan air mata yang akan terjun bebas, rambutku sudah teracak-acak.

Murid lain yang ada dikantin mulai melihat betapa naasnya diriku, mereka memperhatikan dengan tatapan persepsi mereka masing-masing. Aku seperti orang yang kehilangan akal, bahkan baju seragamku sudah tidak rapi lagi karena ku acak-acak. Sumpah demi apapun, aku benar-benar tidak kuat. Ditambah lagi kaki ku berdarah.

Aku mendorong tubuhku ke belakang dengan cara mengesot, sehingga mentok tubuhku menyandar pada kaki meja. "Tolong, singkirkan itu" suaraku mulai purau "Aa—ku ta—takut."

Meria dengan kejamnya malah menarik serpihan beling yang menancap di kakiku secara kasar. "Arrghh, Mer he—hentikan mer!"

Mereka malah menertawakanku, mereka benar-benar menganggap aku ini sebagai figuran. Mereka tidak tahu apa yang kurasakan dengan ketakutanku ini.

Nafasku tinggal satu-satu dan aku berusaha mencari pasokan oksigen dengan mengangkat kepalaku, tapi kakiku masih tidak bisa untuk digerakkan, saking gemetarnya diriku. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Terakhir yang ku dengar orang-orang yang tadi mengejekku langsung diam begitu saja, dan aku tidak mendengar suara lagi.

•••
Salam hangat,
Azashqila❤

Maretta's Mental DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang