Chapter 3

30.5K 2.5K 18
                                    

Elea

Setelah perkenalan dengan Ale di Studio tadi, aku melanjutkan pekerjaanku di meja kerjaku.

"El, ada hubungan apa lo sama mas Ale?" Tanya Tere. Pertanyaan itu membuatku sedikit terkejut, karena bisa-bisanya Tere menanyakan hal seperti itu.

"Nggak ada hubungan apa-apa" jawabku santai sambil membaca naskah berita di tanganku.

"Jangan bohong deh lo. Jelas-jelas tatapan mas Ale ke lo tadi di Studio beda banget." Ucap tere penasaran

"Ooh... sekarang lo udah jadi ahli baca wajah ya?" Jawabku santai.

"El, ih. Serius!! Lo beneran nggak ada hubungan apa-apa sama mas Ale?" Tanyanya lagi.

Sifat keponya Tere yang seperti ini nih, yang patut untuk dihindari. Ia bisa menjadi detektif yang sedang mengintrogasi penjahat atau menjadi agen mata-mata untuk mencari clue dari kekepoannya terhadap sesuatu.

"Beneran nggak ada hubungan apa-apa Teari, sayang. Itu cuma perasaan lo doang masalah tatapan mas Ale ke gue" ucapku cepat. Berharap Tere tak lagi membahas soal tatapan Ale di Studio tadi.

Aku akui tatapan Ale tadi tidak seperti tatapan orang yang baru bertemu. Ada sedikit sedih dan khawatir di matanya. Jujur saja, aku juga terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba muncul layaknya hantu di film horror. Tapi, aku rasa aku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya ketika melihatnya. Jelas saja, serangan panikku tidak muncul lagi ketika di hadapannya. Aku bahkan bingung sendiri ketika aku menyadarinya.

Tring

Suara notifikasi chat di handphone-ku berbunyi dan ketika aku melihatnya, senyumku merekah.

From : Ardhana
El maaf aku baru sempet lagi ngabarin kamu. Hectic banget beberapa minggu ini. Jumat ini aku flight ke Jakarta. Kita ketemu ya :)

Tere yang berada di sampingku sadar akan senyumku yang tiba-tiba merekah dan melirik handphone yang ku pegang.

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga." Ledek Tere

Aku yang mendengarnya hanya tersenyum. Mengingat besok Dhana mengunjungiku akan membuat senyumku lebih lebar sepanjang hari ini.

"Duh happy banget, nggak kering tuh gigi nyengir mulu El" timpal Ojan yang tiba-tiba muncul entah darimana

"Diemin aja Jan, lagi seneng dia. Pangeran import-nya mau dateng besok" ucap Tere sambil memakan cemilan di mejaku. "Eh, hai mas Ale" sapanya tiba-tiba ke Ale yang berjalan dari arah depan mejaku.

"Hai" sapanya sambil tersenyum. "Elea, boleh ke Studio sekarang? Persiapan on air." lanjutnya.

"Oh, iya mas." Kataku sedikit panik dan buru-buru merapikan berkas di mejaku dan berjalan ke arah lift.

Sambil menunggu lift, tiba-tiba Ale berjalan dan berhenti tepat di sampingku. Aku yang bingung harus melakukan apa, pada akhirnya hanya diam seribu bahasa sambil sesekali membaca naskah berita yang akan aku bawakan.

Pintu lift terbuka dalam keadaan kosong. Kami memasuki lift dan menuju lantai tujuh. Lift itu begitu sunyi sampai pada akhirnya suara bariton yang sedikit serak itu memecahkan keheningan.

"Apa kabar, Le?" Tanya Ale

Ya, Ale memanggilku Le. Alih-alih memanggil El seperti banyak orang, Ale lebih senang memangil ku dengan Le. Panggilan itu berawal dari ledekannya dahulu terhadap namaku Eleanor. Dia bilang akan memanggilku dengan nama Ele, karena dalam bahasa jawa berarti jelek. Tapi itu hanya ledekannya, bahkan sampai saat ini aku tak pernah mendengarnya memanggilku dengan nama itu. Ia tetap memanggil namaku dengan suku kata kedua di nama depanku.

EPOCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang