I. AKU DAN SEMESTA

2 0 5
                                    

"Lihatlah jauh kedalam alam, dan kamu akan mengerti segalanya dengan lebih baik"

-Albert Einstein-

●●●

Senja begitu cepat tenggelam dan berganti dengan malam. Terlihat seorang pria tengah duduk termenung diteras rumahnya, memandang langit gelap berhias bintang serta bercahayakan rembulan.

"Indahnya karya-Mu Tuhan," Gumamnya.

Dia menatap langit dengan seksama sehingga tenggelam kedalamnya. Matanya mengikuti setiap titik bercahaya yang menari-nari di atas sana.

Baro, begitulah orang-orang memanggilnya. Seorang pria sederhana yang tak pernah mengeluh dengan kerasnya hidup.

Baro tinggal berdua dengan adiknya yang akrab di sapa Zahra, seorang gadis kecil berusia 13 tahun yang memang di rawat Baro sejak baru lahir.

Ayah mereka, Pak Santoso sudah menikah lagi sejak kematian istrinya dan memulai hidup barunya di kota.

Baro hanyalah seorang marbot mesjid yang berpenghasilan tidak seberapa, namun ia selalu bersyukur karena menurutnya uang ini lebih berkah untuk adiknya daripada uang yang ia dapatkan dari pekerjaan nya yang dulu.

"Kak, Zahra ngantuk!" Zahra yang sedari tadi duduk menemani Baro akhirnya menyerah dengan matanya yang mulai merah lelah. Dia lalu beranjak dari tempat duduk nya dan berjalan ke arah pintu masuk.

"Zahra tidur ya" Sambungnya seraya terus berjalan.

Baro hanya tersenyum mengiringi langkah adik yang sangat ia cintai itu. Mungkin jika tidak ada Zahra, Baro tidak akan memiliki alasan untuk hiduo lebih lama.

"Sekarang tanggal 19 Maret bu" Baro memandangi sebuah kalender yang ia lingkari di tanggal 15 dengan spidol berwarna merah, menatapnya dengan sayu.

Flashback

19 Maret 2007

Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun terduduk bisu di hadapan pusara ibunya yang baru saja di kebumikan.

Baro remaja memandang dengan wajah sendu gundukan tanah yang menyelimuti tubuh wanita yang begitu ia sayangi itu.

Baro tidak menangis tetapi tak sepatah katapun keluar dari bibirnya, wajahnya merah seakan menahan amarah serta kesedihan yang bercampur aduk.

"Ayo, pulanglah. Adikmu menunggu di rumah" Ajak seorang pria paruh baya yang berdiri di samping Baro. Dengan mengenakan Pakaian biasa saja tanpa mencerminkan akan mengantar seseorang menuju peristirahatan terakhirnya.

Baro mendongak ke arahnya, menatapnya dengan tajam penuh kebencian.

"Hey, kau tak boleh melihat Ayahmu seperti itu" Sambung Bapak itu dengan berbisik, berhubung masih banyak masyarakat yang berada di sekitar pemakaman.

Baro masih dengan tatapannya berdiri mengimbangi Ayahnya.

"KAU YANG MEMBUNUH IBUKU, BAJINGAN!" Baro berteriak memaki Ayahnya sekeras mungkin, semua warga menatap tajam kepada Ayah dan anak itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bukan Ikhwan IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang