Pasrah

3.3K 336 74
                                    

Sebelum baca ada baiknya follow akun Author yahhh hehe.
Terima kasih buat yg udah ngikutin cerita ini sampee sinii🤗





Setelah hujan badai, akan ada pelangi. Berarti setelah pedih, akan ada bahagia, bukan? Mencintai adalah indah. Dicintai adalah anugerah. Dan saling mencintai, adalah harap setiap insan. Bukankah ketika telah jatuh kalimat akad, sepenuhnya dua jiwa menjadi satu? Dua kepala menjadi satu. Semua perbedaan dilebur demi kata penyempurnaan.

Nasihat sesepuh, masalah adalah ujian untuk menguji seberapa kuat kadar cinta. Tentu saja cinta pada Sang Khaliq. Kadang kita salah memaknai. Ujian yang dihadapi, dianggap sebagai teguran yang membuat kita menyerah. Padahal, masalah itu untuk menguji, bukan untuk meminta mundur lalu berhenti.

“Dulu kau bilang, menikah denganku untuk ibadah, Mas? Lalu mana? Mana katamu dulu? Ibadah apa lagi jika setiap hari kita mesti berdebat? Mesti bertengkar? Kamu memang selalu susah untuk terbuka. Sepertinya keberadaanku hanya status, tanpa makna. Bukankah seorang istri adalah tempat keluh kesah suami?” Risel pasrah. Ia tumpahkan segala marahnya pada Abid yang baru saja keluar kamar mandi. Ia pedih. Ia terluka. Bagai tersayat-sayat. Ungkapan cinta dari Abid dulu seakan meluap hilang. Tujuan dan kalimat meyakinkan dari Abid saat meminangnya dulu telah hempas.

“Aku kalau lupa tujuan awal menerimamu, detik ini juga aku pilih pergi. Buat apa aku diam di tempat yang pemiliknya saja tak pernah menganggapku?”

“Apa maksud kamu?!” Abid mencekal lengan Risel, mendorong Risel hingga punggungnya menempel dinding. “Kamu sadar atas apa yang kamu ucap?” Suara Abid melembut kali ini.

“Nggak tau lagi aku menghadapi sikap kamu, Mas! Boleh aku berhenti?”

Abid melepas cekalan di lengan Risel, lalu menangkup wajah Risel dengan kedua tangannya. “Aninda Risel, siklus bulananmu lancar?” Risel tersentak kaget. Tangisnya sempat berhenti, bingung dengan pertanyaan Abid. “Mungkin tamu bulananmu sebentar lagi datang,” kata Abid selembut mungkin.

Risel langsung menyentuh perutnya yang baru terasa nyeri. Ia langsung berlari ke kamar mandi. “Mas!” Abid tersenyum mendengar teriakan Risel. Ia mendekat, menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. “Apa, Ammah?”

Sementara Risel di dalam meremas ujung bajunya, bingung dan malu untuk meminta bantuan Abid. “Ehm, maaf. Boleh minta tolong ambilkan pembalut di lemari meja riasku?” Abid tertawa, “Haha benar apa kataku.”

Abid mengelus dada, merasa lega bahwa ucapan Risel karena emosi yang tak terkontrol akibat tamu bulanan. “Nih!” Risel membuka pintu, mengeluarkan satu tangannya untuk menerima uluran Abid. Ia malu. Meskipun dua tahun lebih hidup bersama Abid, tapi untuk satu hal ini masih tabu baginya.

“Sini duduk,” Abid melambaikan tangannya pada Risel. Ia meminta Risel untuk duduk di sebelahnya. Dengan langkah ragu, Risel mendekat lalu melabuhkan tubuhnya di bangku rotan panjang yang ada di teras belakang. “Jangan bicara seperti tadi, Mas nggak suka.”

“Aku juga nggak suka Mas nyembunyiin  sesuatu.”

“Apa?”

“Ngapain ke Magelang? Pasti nggak mau ngasih tau, kan?”

Abid memandang lurus ke depan. Sesekali matanya mendongak, menatap bintang yang berkelip. Oh, bukan. Itu pesawat.

“Aku nggak suka begini.”

“Maaf.” Hanya itu yang mampu diucap oleh Abid.

“Mas ingat, dulu menikahiku karena apa?” Abid terdiam. Risel melengos, lalu melanjutkan, “Ya karena amanah dari Mas Rayyan, kan? Nggak mungkin karena cinta.” Seketika Abid langsung menoleh, menatap tajam pada Risel. “Sok tahu, kamu!”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang