=
Mareta sudah absen tiga hari karena demam tiba-tibanya, dan ia tak berkeinginan untuk absen lagi hari ini hanya untuk bertemu dengan Januari. Dengan mood yang sangat ... datar. Kosong. Kelam. Gelap. Suram. Entahlah. Mareta seolah mati rasa. Wajahnya tak menunjukan ekspresi apapun. Ia bahkan merasa begitu malas membuka mata dan menatap mata orang-orang di hadapannya. Kepalanya begitu pening dan berat, seolah planet Jupiter tiba-tiba jatuh menimpanya.
Tanpa bicara, diamnya Mareta di ambang pintu kelas Januari membuat Bobi, Jaka, dan seisi kelas paham maksudnya. Segera Bobi menghampiri. "Kemarin kan kalian sama-sama nggak masuk. Sekarang kenapa lo nggak nggak masuk lagi?"
Apa jangan-jangan mereka sedang marahan ya? Kok Mareta datar gini, sih?
Tanpa perlu mengeluarkan suaranya, Mareta langsung berbalik. Bersamaan dengan bel pulang berbunyi, gadis itu segera kembali ke kelas untuk mengambil ranselnya dan mendatangi tempat istimewa mereka. Rumah pohon.
* * *
Ckrek!
Mareta memotretnya. Sosok Januari yang sedang duduk di bawah rumah pohon dengan ilalang-ilalang cantik yang mengelilingi. Entah kenapa hari ini terasa cerah sekali, bukan panas yang menyengat.
Gadis itu berdiri diam, beberapa langkah dari tempat Januari duduk. Hingga laki-laki itu menolehkan kepala dan berdiri. Lalu keduanya saling menatap dalam hitungan detik yang lama. Seolah Mareta meluapkan perasaannya tanpa bicara, dan Januari mengerti. Detik berikutnya, gadis itu melangkah satu per satu mendekati lelaki di hadapannya. Matanya berkaca-kaca. Tampak bahwa penampungan air matanya sudah jebol.
"Gue jahat ya, Jan?" pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuat Januari menganggukkan kepala dengan wajah datar yang terpasang di sana.
Bibir bawah Mareta melengkung, ke bawah. Persis emot sedih yang sangat sedih. Sebenarnya Januari ingin tertawa, tapi setengah mati ia berusaha menjaga aktingnya supaya Mareta sadar akan perbuatan diluar akal sehatnya itu telah membuat Januari marah.
"Masa gue mati pas lo mau pergi? Kan nggak lucu ya, hiks."
Dan pertahanan Mareta runtuh detik itu. Ia berhambur ke dalam pelukan Januari. Begitu erat. Bisikan-bisikan angin pun berusaha menenangkan isakan gadis berambut biru tanpa Januari perlu menyuarakannya.
"Januari jangan marah sama Mareta, ya?" pintanya di sela sesenggukan, masih dalam pelukan. Mareta menunggu, dan dapat ia rasakan dada Januari bergerak maju mundur. Januari baru menghela napas berat.
"Akan selalu marah kalo Mareta ngelakuin hal macam itu lagi." begitu jawabnya.
Mareta hanya bisa diam karena lidahnya kelu. Gadis itu sadar telah lepas kendali dan melakukan suatu hal yang membuat Januari takut setengah mati. Jika tak ada Januari, jika sosok itu tak datang tepat waktu, atau jika saja Januari tak memahami maksud racauan Mareta dalam telpon dini hari, mungkin Mareta sudah benar-benar bertemu ayah sekarang.
Jadi dieratkannya pelukan pada tubuh Januari. Pelukan terimakasih, maaf, dan takut kehilangan. Mareta tak pernah meminta Januari untuk selalu hadir dalam hidupnya dan berdiri di sana untuk menolongnya kapanpun itu. But he's always be right there for her.
"Kalo lo selalu kayak gini, gue bakal selalu marah sama lo. Really." dan gue nggak akan pernah maafin diri gue sendiri, Mar. Januari meletakkan dagu di puncak kepala Mareta. "Lo tau kan, besok gue udah nggak di samping lo lagi, Mar. Gue nggak akan bisa lagi lari jurus seribu bayangan buat nyamperin lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower
Teen FictionWallflower; (noun) You see things. You keep quiet about it. And you understand. - - - Lihatlah dengan jelas! Semua ini hanya tentang Hujan dan Samudra. Selalu, seperti itu. p.s.: seharusnya, tidak dirasakan saja. (( UPDATE TIAP TGL 5, 15 & 23 ))