Suvenir #4: Kereta Terakhir ke Neraka

28 1 0
                                    


            "Pulang atau menginap di kantor, Rak?" tanya kakak perempuanku, Sita, lewat aplikasi chat Whatsapp, mewakili ibuku yang selalu khawatir jika anak laki-lakinya yang padahal sudah berusia 26 tahun ini pulang larut malam dari tempat kerjanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pulang atau menginap di kantor, Rak?" tanya kakak perempuanku, Sita, lewat aplikasi chat Whatsapp, mewakili ibuku yang selalu khawatir jika anak laki-lakinya yang padahal sudah berusia 26 tahun ini pulang larut malam dari tempat kerjanya.

"Pulang, Mbak. Ini lagi di jalan," jawabku sambil melangkahkan kakiku ke stasiun.

"Oke, hati-hati di jalan."

Kuintip jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 11:45, aku berusaha mengejar kereta terakhir seharusnya adalah jam 00:10. Sudah nyaris tengah malam dan aku sudah terlalu lelah oleh pekerjaan kantor yang menumpuk untuk bisa berlari kencang. Tapi aku berlari sekencang yang kubisa. Kalau aku sampai ketinggalan kereta terakhir, pilihanku hanya kembali ke kantor dan tidur disana, atau pulang menggunakan taksi, karena sudah tidak ada lagi bis dan angkutan umum yang beroperasi.

Pulang dengan menggunakan taksi dari stasiun, yang letaknya tak jauh dari kantorku, ke rumah menghabiskan ratusan ribu. Ya, jaraknya sejauh itu. Menginap di kantor juga bukan pilihan yang menyenangkan. Tidak ada yang lembur sampai menginap di kantor, kecuali memang sedang ada lemburan dalam jumlah besar. Daerah kantorku cukup angker setelah tengah malam. Yang angker adalah daerah sekitarnya, tapi makhluk-makhluk anehnya bisa mampir silaturahmi ke dalam gedung kantor kalau sedang sepi. Dan saat ini, sedang tidak ada siapapun di kantor. Kantorku adalah perusahaan kecil, tidak merekrut satpam.

Kuintip kembali jam tanganku. Pukul 00:07, dan kakiku sudah menginjak gerbang masuk stasiun. Aku berusaha berlari menaiki tangga sekencang yang kubisa, tapi seperti yang kukatakan, aku sudah terlalu lelah. Sesampainya si peron lantai tiga, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 00:10. Aku hanya berharap bahwa keretanya baru saja akan tiba. Atau terlambat sedikit.

Kurasakan ponselku yang kusimpan di dalam sakuku kembali bergetar.

"Raka, kamu masih di kantor nggak?" chat Whatsapp itu berasal dari Rere, rekan sekantorku.

"Nggak, Re. Aku sudah di stasiun. Otw pulang. Kenapa?"

"Yah. Jam tangan aku ketinggalan. Tadinya aku mau nitip simpenin. Kau tahu kan di kantor nggak ada satpamnya."

"Wah, sorry banget! Aku sudah di jalan."

' "Yasudah, nggak apa-apa. Terima kasih, Rak."

Ketika aku hendak kembali memasukkan ponselku ke dalam sakuku, ponselku kembali bergetar. Ternyata Rere masih mengirim chat via Whatsapp.

"Memangnya masih ada kereta jam segini?"

Kuintip kembali jam tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul 00:12, dan tidak tampak adanya tanda-tanda bahwa kereta terakhir yang kuharapkan akan lewat. Antara kereta itu sudah lewat, atau jadwal keberangkatannya dibatalkan.

SUVENIR DARI NERAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang