Rabi terus mematung di belakang jendela kamar ia mendongakan kepalanya keluar jendela, melihat langit berbintang, wajahnya begitu sedih ia tak bisa menyembunyikan luka itu. Setidaknya ia bisa memalingkan luka kesedihannya dari sahabatnya.
Di dalam kamar Rabi bersama Hafidzah yang sedang membaca buku koleksi Rabi, sambil mencatat ilmu yang ia peroleh dari setiap bacaannya. Memang Hafidzah suka sekali mencatat apa saja asal itu adalah Ilmu dan pelajaran baginya. Dan Rabi juga di temani Umi, tapi Umi sedang keluar sebentar, katanya ada panggilan telepon di pesantren dari Mamanya. Sedang temannya yang lain Zahra, Afifah dan Aish lebih memilih di asrama murotal Al-quran.
Hafidzah melihat Rabi dengan begitu murung, "Bi kamu kenapa?" tanya Hafidzah hati-hati.
"Enggak, gak papa." Jawab Rabi penuh kebohongan.
Hafidzah hanya bisa bernafas berat mendengar jawaban Rabi. Ya itulah Rabi, selalu berbicara baik-baik saja tapi buktinya kebalikannya. Rabi memang selalu menutup perasaan cinta maupun sedihnya. Dan itu sedang terjadi, dimana ia menutupi kesedihannya soal Adam.
Ketika Hafidzah sedang menulis tiba-tiba tinta pena-nya habis. "Bi aku boleh minjam pena?" ujarnya meminjam pada Rabi.
"Ambil aja di laci meja belajar," jawab Rabi dengan nada malas.
Hafidzah berdiri dan menuju meja belajar, ia membuka laci meja itu. Hafidzah juga melihat sebuah buku dairy kesayangan Rabi, ia penasaran ingin melihat isinya. "Gak papalah sebentar juga!" ucap bathin Hafidzah.
Rabi melihat buku cover pink itu di genggamannya dengan judul Kitab Cinta Pesantren. Hafidzah membuka cepat tiap halamannya, hingga ia menelisik tiap judul dan katanya. Memang isinya tentang keseharian Rabi, hingga ia berhenti di halaman yang ada tulisan Adam di dalamnya. Sebuah tulisan hati yang benar tulus di buat Rabi. Setelah membaca singkat, Hafidzah membalik lagi halaman buku itu. Dan tulisan dengan nama Adam itu banyak Rabi tulis. Lalu ia tutup dan ia kembalikan ke tempatnya. Hafidzah memang sudah yakin bahwa Rabi mengagumi dan mencintai Adam. Seketika mengetahui itu Hafidzah merasa terpukul akan apa yang ia ketahui hari ini. Semua yang Rabi lakukan hanya bohong, dia benci pada Adam sebagai rival, tapi dia benar-benar cinta di balik persaingan Rabi dan Adam. Apa Adam juga sebalik? Pikir Hafidzah.
Umi membuka pintu terburu-buru, "Gaess... Gaess.. Gaess!" Ucap Umi rusuh dan panik memanggil kedua sahabatnya.
"Ada apa Mi?" tanya Hafidzah.
Rabi masih bersikap tidak peduli.
"Adam... Adam...," bicara Umi terputus-putus dengan air mata mengalir di pelupuk matanya.
"Iya ada apa?" teriak Hafidzah bertanya.
Umi mengatur nafasnya.
"Adam masuk rumah sakit. Dia kritis dan koma hingga sekarang." Terang Umi dengan wajah tersedu-sedu.Mendengar itu Hafidzah kaget bukan kepalang, Rabi akhirnya berbalik melihat Umi.
"Rabi kenapa nangis?" tanya Umi penasaran.
"Enggak kok ini mataku cuman kelilipan, tadi ada debu."
Rabi sering kali mencari alasan atas kesedihan yang melandanya, ia tak mau terus terang. Padahal ia mendengar semuanya dan ia sudah tau lebih dulu soal kondisi Adam, dan hatinya saja yang bisa bicara kalau ia mengkhawatirkan Adam.
"Oh iya gimana kondisi Adam?" tanya Rabi rusuh.
"Dia masih belum sadarkan diri."
Jawab Umi singkat.Hafidzah tau sekarang kenapa Rabi terlihat sedih, sebelumnya ia sudah tau soal kondisi Adam, tapi ia mencoba berbohong. Ia juga tak memberitahu urusan perginya Kiyai, pasti Kiyai dan Bu Fatimah sedang menjenguk Adam. Hafidzah tau kalau Rabi hanya memalsukan ketidaktahuannya. Dan kesedihan itu pasti semua karena memikirkan Adam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitab mimpi pesantren [on going]
Fiksi Remaja(Proses Revisi tapi ngalem. 😊) Ketika dia pertama kali masuk pesantren, rasa ingin kembali pulang kadang muncul di benaknya, tapi dengan waktu dia mulai bisa memahami impiannya disini. Kisah ini di mulai di dunia cahaya, yah tepatnya dunia cahaya...