Orion, kesayangan saya sebelumnya, yang saya pinta agar bahagia selamanya.
♪ ♪ ♪
Rion berdiri di tepi Jalan Bloor West tepat di dekat halte bus, menikmati teduhnya pohon rindang yang tumbuh dari sekitar. Dia baru saja selesai memakan roti isi daging sapi untuk mengganjal perut yang lapar, mumpung gerai kecil yang menjual sandwich hanya berjarak sekitar 7 langkah dari halte bus. Setelah menghabiskan tegukan terakhir dari kaleng cola-nya, Rion kini mulai merasakan detak jantung yang sukses berdebar ketika lima belas menit lalu pesan dari Judith masuk ke ponselnya. Rion tadinya ingin pergi sebentar ke café yang tidak jauh dari hotel karena ingin membeli kopi, beruntung pesan Judith masuk lebih dulu dan dengan raut tidak percaya ia membaca isinya. Secepat kilat, Rion langsung mengganti pakaiannya. Dia bersemangat, walau tidak dipungkiri juga diselimuti oleh rasa takut. Ajakan Judith persis seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Dua tahun Rion berharap dapat berbicara lagi dengan perempuan itu, bahkan sudah nyaris menyerah rasanya, hingga akhirnya semesta menunjukkan keajaiban lewat Judith yang mengajaknya lebih dulu.
Rion mendapati bus yang akhirnya tiba. Sama halnya dengan beberapa orang yang lain, mereka masuk bergantian. Rion mengambil kursi di bagian tengah dan mencoba duduk dengan tenang. Pandangannya tertuju keluar jendela, menatap Toronto yang cerah berawan hari ini. Gedung-gedung berukuran besar yang rasanya sudah lazim untuk ada, para pejalan kaki yang menikmati matahari, pesepeda dengan ransel-ransel di punggung mereka. Rion menikmati satu per satu semuanya dengan baik.
Jarak antara hotel dan tempat pertemuannya dengan Judith terbilang dekat. Mengingat hotel Rion memang berada di belakang gedung megah kampus Judith. Hanya harus melewati panjangnya Jalan Queens Park yang terbentang dari belakang University of Toronto hingga ke bagian depannya. Kemudian berlanjut ke University Avenue dimana biasanya Judith kerap menghabiskan waktu di salah satu gerai starbucks di dekat jalan tersebut.
Rion mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia hari ini menggunakan kaus hitam polos dengan jaket jeans cokelat muda dengan bawahan celana panjang. Rion menyalakan ponsel dan kembali membaca pesan Judith dengan senyum yang terukir di wajah. Bukan senyum lebar, melainkan senyum lega seakan ada beban yang terangkat dari bahunya. Rion merapal doa, apapun yang terjadi, dia ingin hubungannya dan Judith tetap baik-baik saja.
Dimasukkannya ponsel ke dalam saku jaket setelah mengecek jam, dia bisa sampai kurang lebih lima belas menit lagi. Waktu yang ada dipakainya untuk menjernihkan pikiran dan mencoba membuat cara untuk menyapa Judith. Mencoba melepas nama Aluna benar-benar sulit untuk Rion lakukan, lidahnya tidak terbiasa memanggil perempuan tersayang dengan sapaan Judith. Rion melipat bibir sehingga menjadi satu garis lurus, matanya terpejam karena dirinya memang tidak mampu melakukan hal itu.
"Halo, Judith?" ujar Rion pelan mencoba latihan. Sial! Dia langsung bereaksi aneh. Aluna bukan nama yang baru Rion gunakan sejak kemarin sore. Nama Aluna jelas bagian dari Judith yang sudah Rion gunakan sejak di hari pertama mengenal si perempuan dengan anak rambut nakal yang mencuat keluar dari jilbab sorongnya. Bagaimana pula Rion dapat menyapa si perempuan dengan nama depan. Sekalipun mulutnya bisa, otaknya terang-terangan menolak hal itu.
"Gue tetep panggil pakai Aluna aja kali, ya?" pikir Rion sembari melihat baik buruknya. "Tapi kalau dia makin nggak nyaman, gimana?" Rion menggaruk pelipisnya yang gatal. Sisa lima belas menit menuju halte tujuannya sukses habis untuk latihan saja. Benar-benar konyol!
University Avenue merupakan jalan besar, persis seperti jalanan besar lainnya, University Avenue pun menerapkan sistem one way. Antara pangkal hingga ke ujungnya, di bagian tengah terdapat Dundas Street West yang memang menjadi tujuan Rion. Tepat di St. Patrick, antara University Avenue dan Dundas Street, bus berhenti di sana. Rion berdehem, dia akhirnya berdiri untuk keluar bus. Dari halte tersebut, hanya butuh waktu sekitar dua menit untuk tiba di Uncle Tetsu's. Suasana di sekitar begitu ramai karena Dundas Street menjadi salah satu tujuan untuk menikmati Toronto. Apabila masuk dari University Avenue, di bagian kanan Dundas Street memang dipenuhi oleh restoran Asia yang posisi bangunannya tidak terlalu besar dan bahkan berdempetan. Sementara di bagian kiri dipenuhi gedung-gedung besar pusat perbelanjaan dan khusus parkir kendaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...