Prolog

359 9 0
                                    


Tap!

Tap!

Tap!

Suara langkah kaki di belakangku semakin terdengar nyaring. Bersahutan dengan napasku yang mulai tersengal. Aku sudah kelelahan. Tidak ada lagi kekuatan untuk menggerakan kakiku menjauh dari kejaran mereka.

Kakiku segera mengerem laju lariku begitu mendapati satu pengejarku sudah berdiri menjulang tinggi di depan sana. Menutup jalur pelarianku agar bisa terbebas dari mereka.

Sungguh, baru kali pertama ini aku merasa begitu ketakutan. Apalagi dengan tampang dan senyum mengerikan yang kini tersemat di bibir cowok berandalan itu.

Oh, Kamisama ... selamatkanlah aku dari rencana jahat mereka, aku berdoa dalam hati kala tersadar aku sudah terjebak. Hanya ada jalan buntu. Baik di depan maupun belakangku. Mereka--para iblis yang senang menindas--kini berhasil mengepungku.

"Akhirnya tertangkap juga tikus got yang sudah berani bikin aku malu di depan kelas," kata Daiki sambil melangkah santai mendekatiku.

"K-kau salah sangka! Aku tidak bermaksud begitu!" sanggahku sambil melangkah mundur. "Tolong ampuni aku."

"Ampuni kau bilang?" sahut cowok itu dengan sebelah alis terangkat. "Lagipula meski pun aku sudah mengampunimu, tetap tidak akan bisa mengembalikan reputasiku seperti semula."

"Percaya padaku, Daiki-sama. Aku berani bersumpah, bukan aku pelakunya," bantahku mencoba berkelit dari tuduhan cowok itu. "Aku juga tidak tahu bagaimana bisa kertas jawaban kita tertukar!"

Cowok itu mendengus sambil mengepalkan tangan dan meninju telapak tangan satunya. "Omong kosong! Kau pasti sengaja melakukan itu. Mengaku saja!"

Aku terus menggeleng meski tahu percuma saja menyakinkan cowok iblis itu, dia tetap tidak akan percaya padaku.

"Hajar saja, Daiki-sama!" sorak Yutaka dan Yoshio kompak dari arah belakangku.

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku dan napas terenggut darl rongga paru-paruku saat satu pukulan Daiki telak mengenai perutku. Membuat badanku membungkuk ke depan dan segera ambruk ketika siku cowok itu menghunjam punggungku.

Aku pun jatuh meringkuk di lantai koridor yang sepi sambil memegangi perutku yang terasa nyeri dan menggigit bibir agar tidak merintih kesakitan.

"Ayo bangun, Hiroshi-kun. Aku belum puas menghajarmu. Jangan berani pingsan dulu sebelum aku mengizinkanmu," kata Daiki sambil berjongkok di depanku dan mengangkat badanku dengan merenggut kasar kerah kemeja seragamku.

Kakiku mendepak-depak udara saat tak lagi menapak di lantai koridor. Cengkeraman tangan cowok itu membuat aliran napasku tersekat. Mulutku mengap-mengap berusaha memasok oksigen ke rongga dadaku yang terasa sesak.

"Beginilah akibatnya kalau kau berani membantah perintahku," ujar Daiki semakin erat mencekik leherku. "Aku paling benci dengan tikus kotor yang tidak tahu cara berterima kasih. Dengan senang hati, aku akan mengajarimu agar kembali patuh padaku."

Kelopak mataku mulai terasa berat dan tanganku mulai melemas serta pandanganku juga mulai menggelap. Sepertinya kali ini aku benar-benar akan mati di tangan cowok iblis itu.

Whuuusss...

Dari ekor mataku, ada bola basket yang melesat cepat ke arah kami. Namun tangan Daiki lebih sikap menangkap bola itu sebelum sempat mengenai paras tampannya.

GREEP!

Aku pun jatuh terduduk sambil batuk-batuk kala terbebas dari cengkeraman maut Daiki. Sambil mengatur napas, aku menoleh ke arah di mana bola basket itu berasal.

Tepat di ujung koridor, siluet badan kekar seorang lelaki tampak separuh mengabur di bawah pancaran terang cahaya senja. Menerobos masuk dari jendela yang berderet di sepanjang sisi kiri koridor lantai 2 gedung sekolah itu. Siapa dia?

Mataku menyipit berusaha menembus selimut cahaya yang menutupi sosok misterius itu dengan kilau terang benderang. Jantungku berdegup kencang kala mengenali sosok itu. Ya, tak salah lagi. Malaikat penyelamat yang dikirim dewa untukku adalah Eiji sensei. Seorang guru olahraga di sekolahku.

"Sudah hampir gelap. Kalian tidak ingin segera pulang ke rumah?" tanya Eiji sensei sambil menangkap bola basket yang dilempar balik Daiki tanpa kesulitan. "Bahaya kalau masih keluyuran di sekitar gedung sekolah setelah matahari terbenam."

"Cih, dasar hama! Cuma bisa menganggu kesenangan orang lain saja," umpat Daiki sambil meludah dan mengajak pergi kedua pengawalnya dengan gerakan kepala.

Aku menunduk saat Eiji sensei berdiri tepat di hadapanku. Meremas tangan berusaha agar tidak menangis. Lantas tertegun kala kurasakan jemari besar dan kuat lelaki itu mengacak rambutku.

"Pulanglah. Kau aman sekarang," ucap Eiji sensei kembali melangkah menyusuri koridor sambil men-dribble bola basket.

Tanpa sadar, aku mengusap rambut di bagian bekas elusan tangan lelaki itu. "Arigatou, Eiji-san," gumamku sambil mengamati sosok itu hilang di belokan ujung koridor.


*tbc*

Jangan lupa vote dan komen^^ makasih udah mampir :)

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang