ALI
Aku baru saja selesai membicarakan bisnis bersama Bang Rizman. Ya, kalau aku dan kakak iparku itu, pasti pembicaraannya tidak jauh-jauh dari bisnis.
Bang Rizman memilih kembali ke kamarnya menyusul Kak Zihra. Sedangkan aku? Aku tidak tahu harus melakukan apa. Yang jelas, yang ada di pikiranku sekarang adalah tentang Jasmine dan Ezi.
Heran juga, kenapa aku begitu terganggu dengan pernyataan jika mereka adalah sepasang kekasih. Aku tidak mengerti kenapa hal itu bisa begitu mengusik ketenangan jiwaku. Seperti ada ketidakrelaan.
Ah, aku selalu tidak mengerti mengapa kehadiran gadis itu bisa sangat memengaruhi diriku akhir-akhir ini. Aku tidak menyangka kami bisa berinteraksi lebih dari sekedar guru dan murid. Sesuatu di dirinya yang kadang membuatku ingin memancing celotehannya. Sesuatu di dirinya yang kadang membuatku rindu jika tak mendengar omelan atau kekesalannya.
Setelah bertahun-tahun, perasaan serupa muncul kembali. Dan penyebabnya adalah gadis itu---Jasmine.
Ingatan tentang foto-foto di galerinya yang tadi sempat aku intip muncul seketika di benakku. Oh, lucunya. Sebagian besar isi galeri di ponselnya itu adalah foto selfie dengan gaya yang konyol. Aku tidak tahu kalau Jasmine tipe perempuan yang suka berfoto. Tapi itu malah menambah kesan lucu yang kutetapkan untuknya.
Tuh, kan. Aku sudah seperti orang gila senyum-senyum sendiri mengingat itu. Aku baru sadar jika seminggu terakhir ini hari-hariku telah diisi oleh seorang gadis belia dengan sifatnya yang selalu mengobrak-abrik hatiku. Kadang ia membuatku kesal, kadang ia membuatku gemas, dan yang paling aneh, kadang ia membuatku rindu.
Hal tersebut senantiasa membuatku ingin selalu berada di dekatnya, mendengar suaranya, melihat senyum cengirannya. Aih, aku merindukan senyum konyol khas miliknya itu.
Dimana gadis itu sekarang, ya?
Perasaan ingin melihat wajahnya membuncah hingga aku tak tahan untuk segera mengetuk pintu kamarnya. Biarlah aku dikatainya orang gila, mengetuk pintu kamar orang tanpa tujuan penting. Intinya aku bisa bertemu dengan gadis itu.
Akupun segera melangkahkan kakiku menuju kamarnya yang kebetulan berada di sebelah kamarku. Sesampainya disana, kuketuk pintu kamar bercat putih tersebut.
Tok...tok..tok...
Tok...tok..tok...
Hingga beberapa kali namun tak ada sahutan dari dalam. Apa mungkin gadis itu masih marah padaku?
Ah, sialan. Memikirkan dirinya yang marah kemarin saja sudah membuatku hampir frustasi. Sekarang aku harus bagaimana jika ia marah lagi? Aku bukan perayu yang handal. Jadi jangan salahkan skill merayuku yang di bawah standart ini.
Aku tidak mungkin langsung menerobos masuk kamarnya, kan? Aku juga tidak punya nomor ponsel gadis itu untuk menanyai keberadaannya sekarang. Aargh! Hal ini membuatku frustasi. Pemikiran tentang ia yang bersama Ezi kemudian berputar di benakku, dengan sengaja membuatku gelisah. Entah mengapa, Ya Tuhan.
Lalu samar-samar kudengar suara genjrengan gitar dari arah balkon belakang. Tunggu, apa itu mereka? Karena kudengar juga ada yang bernyanyi disana. Dan aku belum bisa lupa dengan suara Jasmine. Aku tahu itu dia! Ah, pasti gadis itu bersama Ezi.
Aku pun berjalan menuju sumber suara tersebut. Perlahan, dan aku akhirnya sampai disana. Benar rupanya, mereka sedang bernyanyi bersama dengan Ezi yang memegang gitar. Aku menyembunyikan diri di balik jendela sehingga mereka tidak menyadari keberadaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teach Me How To Love You Right
RomanceKetika Jasmine Ardinal, seorang gadis tak tau arah tujuan hidup bertemu dengan Ali si guru dingin yang perfeksionis. Kejadian-kejadian kecil di antara mereka memupuk sebuah perasaan aneh yang masing-masing dari mereka belum pernah rasakan sebelumny...