9. Perasaan

581 67 5
                                    

Aku tak menyangka akan secinta ini padamu
(From Author for you, my reader)

***

Zarah mendapat enam jahitan di lengan kiri, pipi kirinya tergores cukup panjang sampai ke rahang. Jangan berbicara soal bagian kaki, Zarah juga mendapat luka di sana.

Setelah mendapat penanganan yang baik dari dokter, Zarah sudah bisa dibawa pulang. Tak perlu sampai menginap.

Kania meletakkan segelas air di meja, raut wajahnya menggambarkan kesedihan. Selama ini Zarah tak pernah mendapat luka yang bisa dibilang cukup parah, Zayn menjaganya sangat ketat dan hati-hati.

Kesedihan yang dirasakan Kania juga bersumber dari Zayn. Dia terus-terusan menitikkan air mata. Tak ada yang bisa menenangkannya saat ini, ia remuk dari dalam.

“Mama ke luar dulu, obatnya diminum.” Kania berpesan kepada Zarah, dia sempat mengelus lembut punggung Zayn  sebagai bentuk semangat.

“Abang….” Zarah memanggil dengan suara yang agak serak. “Abang sampai kapan mau nangis terus? Matanya udah bengkak.”

Zayn menatap Zarah intens. Air matanya berjatuhan lagi.

"Aku baik-baik aja, Bang...." Zarah tersenyum tipis.

Zayn menunduk, mengadili dirinya sendiri karena tak bisa memantau dengan baik. Ia benar-benar muak melihat Zarah terluka sementara ia baik-baik saja. Kenapa takdir tak bisa ditukar?

Zarah mencoba bangkit dari tidurnya, sebisa mungkin menepis rasa sakit agar Zayn tak khawatir. “Aku minta maaf, Bang. Gara-gara aku Abang nangis terus….”

Bibir Zayn gemetar. Pemandangan di depannya sungguh memuakkan. Zayn benci melihat goresan yang menghiasi pipi gembil adiknya. Belum lagi dengan jahitan di lengan kiri.

Tak bermaksud berlebihan, Zayn dari dulu memang seperti itu. Over protectif. Dia bukannya cowok yang lemah, cowok yang gampang menangis. Tidak! Zayn tidak akan menitikkan air matanya jika bukan karena Zarah.

“Udah, Bang….” Zarah menyeka air mata yang berlinang di pipi Zayn.

“Dek….”

“Hm?”

“Abang nggak suka lihat kamu kayak gini.”

“Aku juga nggak mau kayak gini, Bang. Tapi ini kecelakaan.”

Zayn naik ke tempat tidur, matanya memindai. Fokus utamanya adalah lengan bagian kiri.

"Masih sakit?"

Zayn terbayang jarum yang menusuk kulit Zarah, masih mendengar erangannya ketika dokter membersihkan luka. Semuanya terekam jelas.

“Sakit ya, Dek?” tanya Zayn parau.

Zarah menarik ujung bibirnya. “Nggak terlalu sakit, Bang.”

“Kamu kenapa bisa ditabrak, sih? Abang pikir kamu lagi di rumahnya Cia, kenapa bisa ditabrak?”

Zarah mengerjap cepat. Cerita yang sesungguhnya belum terjabarkan.

“Hm … anu, Bang. Itu….”

“Apa, hm?”

Zarah ragu untuk bersikap jujur. Zayn belum menyesuaikan diri, emosinya masih belum stabil. Takutnya Zayn makin menggebu jika mendengar bahwa kecelakaan itu terjadi karena hendak mengejar seseorang. Kebohongan pun akan terkuak! Sebelumnya Zarah mengatakan bahwa akan mengerjakan tugas di rumah Cia.

“Aku … lagi nyari ojek.” Zarah menunduk agar kebohongannya tak tampak jelas. Matanya tak sanggup menatap lawan jika sedang berdusta.

“Kenapa nggak nelpon Abang? Kan Abang bisa jemput kamu.”

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang