Aku tiba di kelas sepuluh menit sebelum pelajaran olahraga dimulai. Di mejaku, kulihat Kitkat, Bang Jack, dan Tiarma—yang kusebut terakhir sama sekali tak merasa risih berada dalam satu ruangan dengan belasan laki-laki nyaris telanjang—berkumpul dengan raut muka khawatir.
"Ma kurang enak badan," jelasku sebelum ditanya, "sepagian ini beliau muntah-muntah. Aku menyempatkan untuk mengantarnya ke klinik karena Pa ada meeting yang tak bisa ditinggalkan."
"Lalu, apa kata dokter?" tanya Kitkat ketika aku merogoh-rogoh tas untuk mengambil baju dan celana training-ku. Tahu begini kupakai saja seragam olaharagaku sedari rumah.
"Kemungkinan besar keracunan makanan. Semalam Ma memakan satu cup besar yoghurt yang masa kedaluwarsanya sudah tak kelihatan. Mungkin dia keliru membedakan asam yoghurt dengan asam susu basi."
"Kau yakin?" sela Tiarma. "Bukan karena kau akan punya adik lagi?"
"Kukira ibumu sudah menopause. Joss juga ayahmu, Bhum!" timpal Bang Jack tak pakai berpikir.
Kulecut dua sahabatku yang celaka ini dengan baju training. Itu mulut atau kelakuan mantan kekasih yang pergi tanpa pamit kemudian datang tanpa peringatan? Kurang ajar benar.
Tetapi Bang Jack dan Tiarma malah tertawa semakin puas. Bahkan Kitkat, Kitkat, tak dapat menahan senyumnya.
"Memangnya kamu tidak mau punya adik lagi?" katanya.
"Kit!"
"Bewcandwaa! Adwuh! Hwentikan Bhwum!" serunya sabur kala kucubit kedua pipinya keras-keras.
Aku mendengus puas melihat Kitkat mengusap-usap pipinya yang kini memerah. Beruntung tak sampai kucium.
Sejenak kemudian, ketua kelas berseru agar kami segera ke lapangan sebab pelajaran akan segera dimulai. Bergegas, aku mengganti pakaianku. Si bedebah Tiarma hanya memutar bola mata ketika aku memintanya untuk berbalik selagi aku mengganti celana—"Kayak aku bakal nafsu saja melihat kolor bulukmu itu!".
Semenit-dua, dan banyak adu mulut dengan Tiarma kemudian, kami sudah duduk di bawah teduh pohon belimbing di pinggir lapangan, mendengarkan Pak Sukardi menjelaskan tentang cara pengambilan nilai untuk tes lay-up hari ini.
Ini juga alasanku tega tak tega meninggalkan Ma sendirian dalam keadaan kurang enak badan. Pulang sekolah nanti akan kubawakan beliau bubur kacang hijau kesukaannya. Satu lagi untuk Lulan, kurasa. Aku takkan tahan mendengar rengekkannya jika ia sampai tak dibelikan.
Tes sudah dimulai ketika pikiranku selesai melayang ke mana-mana. Tetapi ada banyak hal lain yang juga baru kusadari; panas tubuh makhluk lain di sisi kiriku, bau sitrun dan pepohonan cedar yang menggelitik hidung, serta lembut sutra suara yang berucap setelahnya.
"Kau masih suka melamun, ternyata."
Kutolehkan kepalaku ke arah datangnya suara, dan tak kutemukan apa-apa kecuali cinta pertama dan rindu yang bergulung-gulung di dada.
"Ya," gumamku tak jelas, tak pernah terbiasa dengan wajah eloknya.
Hara di ingatanku adalah perempuan kurus dengan rambut sebahu yang selalu dikuncir kuda. Pipi kusam dan bibir yang belum mengenal make-up, serta kacamata kotak hitam yang membingkai badam netranya.
Pubertas memainkan perannya dengan sangat, sangat baik. Di hadapanku, Hara yang sama yang pernah meninggalkanku bertahun-tahun lamanya, menjelma perempuan ayu yang menjanjikan lebih lagi kepedihan, persis rimbun mawar dengan belukar durinya.
Membuatku bertanya-tanya, pantaskah harga sebuah luka untuk mendapatkan dirinya?
Perempuan yang saban-saban datang ke mimpiku itu hanya tersenyum. Lesung pipitnya begitu juwita di pipinya yang kini sedikit berisi. Dan tindakan yang tepat untuk memensiunkan kacamata lawas yang ayahnya beri. Di manik matanya, selapis tipis lensa kontak kini ada. Membuat rupa wajahnya semakin syahda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Ficção AdolescenteTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...