Jasmin’s POV
“Ka-kau sungguhan akan pergi sekarang?” ucap Niall yang dari tadi mengkutiku yang tengah mondar-mandir menyiapkan koperku.
“Ini keputusanku,” balasku sembari memasukkan beberapa potong pakaian.
“Kau haru memberi tahu ini pada orang tuamu! Mereka akan khawatir jika mendapatimu pulang ke Indonesia,”
“Mereka tidak akan tahu jika kau tetep tutup mulut, kan,” balasku memandangnya dengan tampang polos dan kembali memasukkan barang-barangku.
“Tapi… Oh God, please. Lihatlah wajahmu. Kau mau pergi dengan wajah sepucat mayat itu? Kau baru keluar kemarin. Baru beberapa jam setelah dokter memperbolehkanmu keluar lalu kau akan langsung pulang ke Indonesia? Itu perjalan jarak jauh! Kau hampir mengelilingi bumi,” oceh Niall berusaha mencegahku.
“Kau cerewet,” balasku dengan nada sedikit terganggu. Kuambil tasku dan mulai menuntunnya menuju pintu untuk keluar.
“Jasmin!” teriak Niall di belakangku.
“Oh, shut up, boy! Kenapa kau begitu mengurusiku sejauh ini, hah?! Kau bukan siapa-siapaku!” teriakku penuh emosi. Rasa kesal pada ibuku masih membuat emosiku masih tidak terkendali. Tiba-tiba aku merasa dua lengan besar mengelili leherku. Niall memelukku tanpa membiarkan celah untukku bergerak. Aku hanya diam. Tidak dapat melawan. Hatiku berkata begitu.
“Aku memang bukan siapa-siapamu. Aku bukan apa-apa untukmu. Bukan aku saja yang sangat mengkhawatirkanmu. Kau tau, semuanya mengkhawatirkanmu. Kau tidak akan pernah mengetahui perasaan orang-orang di sekitarmu….” Aku tidak dapat berkata apa-apa ketika Niall menenggelamkan kepalanya di leherku. Niall, kau bukan sesuatu yang tak berarti bagiku. Kau…
“Aku menyayangimu. Aku benar-benar menyayangimu. Kau harus tau itu..” lanjutnya yang membuatku semakin tidak dapat berkata apa-apa. Aku ingin menangis. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat sekarang. Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Kedua tanganku hanya kubiarkan menggantung. Ya. Tidak memeluknya balik.
“Maaf, Niall. Aku….”
Jasmin bodoh. Apa yang terjadi padamu. Aku dibuat bingung oleh semua ini. Oleh perasaanku sendiri. Betapa bodohnya aku. Bagaimana aku dibodohi oleh sesuatu yang tidak nyata yang berada di hatiku. Niall… Dia.. hanya temanku. Oke. Temanku. Argh! Apa-apaan ini?! Aku tidak bisa atu bisa kubilang aku tidak boleh mencintainya lebih dari ini. Otakku memaksa begitu. Otakku memaksaku bahwa masih ada orang lain yang menungguku. Tapi hatiku selalu begini. Dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Niall, please, jangan biarkan aku menyukaimu lebih dari ini. Buat aku mengakhiri rasa ini semua.
.
.
Tiga hari telah berlalu semenjak usahaku untuk kabur tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku gagal. Niall, terus melarangku untuk tidak pergi dan usahanya pun tidak gagal. Akhirnya aku menyerah dan membatalkan tujuanku itu. Tapi dia berbaik hati membantuku untuk untuk meminta izin kepada kedua orang tuaku mengenai tujuanku ini. Awalnya mereka sangat tidak setuju dan benar-benar melarangku. Terutama ayahku. Aku sangat beruntung ada Niall di sisiku yang selalu membantuku. Dia berbicara sesuatu kepada kedua orang tuaku (aku tidak tau apa yang mereka ucapkan) dan akhirnya orang tuaku mengizinkanku.
Langit di luar terlihat sangat biru dengan awan-awan putih berenang bagaikan lembu yang berterbangan. Aku berada beberapa ratus kaki di ats daratan dalam mesin modern yang dapat terbang mudah ini. Perjalananku menuju Indonesia pun dimulai. Tentu saja orang tuaku ikut denganku. Mereka duduk di bangku barisan depanku. Dan di sebelahku…. Niall. Dia sedang tertidur pulas. Dia memintaku agar diperbolehkan ikut ke Indonesia. Dia berkata sangat ingin bertemu dengan David. Tidak tahu apa tujuannya tapi aku merasa senang dia ikut dengan kami.
Empat belas jam perjalan dengan dua kali transit bukanlah perjalan yang mudah. Jet lag menghantuiku terus. Terutama Niall. Dia bukan tipe orang yang akan kebal walaupun sudah puluhan kali melakukan perjalanan jark jauh dengan pesawat. Aku kembali menginjakkan kakiku di Indonesia. Baru sekitar dua bulan aku meninggalkan negara ini tetapi aku merasa waktu telah lama berlalu. Bukan itu saja. Tidak mudah bergerak di sini ketika seluruh dunia telah tahu aku memiliki hubungan dekat dengan One Direction. Terutama ada Niall di sini. Kami pun memutuskan untuk tinggal di rumah kami yang lama. Rumah di mana selama delapan belas tahun aku dibesarkan.
“Kau belum tidur?” tanya Niall masuk ke kamarku. Aku sedang duduk di balkon menatap langit gelap tanpa bintang di awal bulan Januari.
“Kau pun begitu,” jawabku tanpa menghadapnya. Niall berjalan ke arahku dan kami pun berada di balkon berdua.
“Bagaimana perasaanmu untuk besok hari? Kau akan bertemu dengannya, kan,” tanya Niall. Aku terdiam sejenak.
“Senang, bahagia, sedih, marah… semua campur aduk. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya. Tapi aku yakin aku akan sedih melihat keadaannya. Dan rasa marah tidak bisa kusembunyikan karena kelakuannya sendiri, hahaha. Dasar aku ini bodohnya,” tawaku pelan.
“Aku yakin dia akan sangat senang bisa bertemu denganmu. Dia akan sangat bangga melihat perjuanganmu selama ini untuknya,” lanjut Niall mengusap-usap kepalaku.
“Thanks, Ni,” balasku. Aku sangat senang mempunyanyi teman sepertinya. Teman… Mengapa aku.. Cukup. Hentikan itu semua, Jasmin. Dia hanya temanmu.
.
.
YOU ARE READING
When Asphodel Start to Bloom
FanfictionJasmin Aline Lareina, seorang gadis yang sangat menyukai One Direction. Menjadi seorang gadis biasa adalah kesehariannya. Tapi apa yang akan terjadi ketika laki-laki pujaan hatinya, Niall Horan, bertemu dengannya dan semakin lama sebuah perasaan 'an...