Happy reading 💞
Satu minggu kemudian...
Keadaan Sheli kian membaik. Suhunya kembali normal. Rasa pusing tak terasa lagi. Sudah satu minggu Sheila menemani Sheli di Jakarta, dan sekarang ia harus kembali ke Yogyakarta. Meski sebenarnya berat untuk berpisah dengan Sheli, tetapi harus ia lakukan.
Pagi-pagi sekali, Sheila memesan grab dan langsung meluncur menuju jakarta.
"Ingat! Jaga kesehatan, makan yang teratur dan, jangan terlalu banyak berfikir, apalagi memikirkan hal yang ditak perlu dipikirkan." Pesan Sheila sebelum berangkat, selalu terngiang dibenak Sheli.
"Jangan mencintai makhluk Allah, melebihi cintamu pada-Nya." Lagi-lagi, suara Sheila terdengar. "Ikhlaskan saja, semua yang sudah berlalu."
Oke, aku akan lebih berhati-hati. Mengikhlaskan semua yang telah berlalu.
Matahari mulai memancarkan cahaya hangat, menyelimuti bumi. Orang-orang sudah memulai aktivitas pagi diluar ruangan, seperti kerja, sekolah, kuliah, ke kantor, dan masih banyak lainnya.
Kini, seorang gadis sedang mengendarai motor matic-nya menuju kampus. Jalanan terlihat tidak terlalu ramai. Toko-toko barusaja dibuka. Embun pagi masih tersisa sedikit didedaunan. Air yang menggenang, terlihat disepanjang jalan yang berlubang. Ya, genangan air itu sisa hujan yang mengguyur kota, semalam.
Tak lama, gadis dengan rambut panjang yang terurai itu sampai di halaman kampus dan langsung memarkirkan motornya. Lalu melangkah menuju kelas. Ketika berjalan di koridor kampus, ia tak sengaja berpapasan dengan Revan, dan keduanya saling diam tak bertegus sapa. Jangankan bertegur sapa, menoleh saja tidak.
Revan benar-benar sudah melupakan Sheli. Ah, ia tidak peduli akan perubahan sikap Revan.
Tak mau berlama-lama, Sheli mempercepat langkah. Setelah sampai di kelas, hanya ada satu bangku yang tersisa, disebelah Syarif-seorang lelaki cerdas yang biasanya duduk dengan Fathia. Tunggu! Dimana Fathia?
Sheli mengedarkan pandangan. Mencari-cari seorang gadis dengan kerudung yang selalu melekat dikepalanya. Itu dia! Lihatlah! dia sedang duduk disebelah Sania?
Masih ingat Sania? Ya, dia adalah teman dekat Sheli. Kenapa Sania yang tadinya duduk disebelah Sheli, jadi pindah tanpa alasan? Terkesan menghindar.
Sheli merasa Sania sudah berubah semenjak Revan menjauh, satu minggu yang lalu. Semenjak satu minggu yang lalu juga, Sania mendiamkan Sheli. Mereka tidak pernah bertegur sapa, bahkan berbicara. Diam membisu bak patung.
Dan sampai sekarang, Sheli tidak tau alasan yang sebenarnya.
Dengan langkah tak bersemangat, Sheli duduk dibangku sebelah Syarif. Laki-laki itu sedang asyik membaca buku, dan menoleh ketika merasa ada seseorang yang duduk.
Sheli terdiam. Pandangannya menatap lurus. Pikirannya bercabang entah kemana. Syarif pun sama, ia hanya terdiam tak menyapa Sheli. Ah, mungkin lelaki itu masih fokus dengan bukunya. Memang, orang cerdas sangat mencintai buku.
Setelah lama terdiam, akhirnya Syarif bersuara. "Lo kenapa?" tanya Syarif yang menyadari wajah Sheli redup.
"G-gue nggak papa, kok." Sheli mencoba menutupi masalahnya.
"Jangan gitu. Kelihatanya lo nggak nyaman, duduk sama gue."
"Maaf."
"Biasa aja kali, Shel. Fathia udah lama duduk sama Sania, semenjak lo sakit."
Deg!
Mata Sheli sempurna membulat. Ia menatap Syarif tak percaya. Tidak biasanya, Fathia-gadis pendiam itu langsung akrab dengan Sania dan dengan cepat berpindah tempat duduk. Dari dulu, Fathia setia duduk dengan Syarif-lelaki cerdas yang juga hemat omong. Dia juga pernah menduduki sebagai presiden mahasiswa. Banyak yang mengidolakan lelaki cool itu, tetapi ia sama sekali tidak ingin memiliki pacar.
***
Larut, Sheila sampai di rumah Eyang. Ternyata, di teras sudah ada Eyang dan tante Prili yang dengan khawatir menunggunya pulang. Seberapa besar rasa khawatir mereka, hingga rela menunggu diluar seperti ini? Pasti, sangatlah besar.
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga." Tante Prili menghela napas.
"Lho, kok Eyang dan tante Prili diluar? Dingin tau," ucap Sheila sambil melepas sepatu dan menaruhnya di rak.
"Kami nungguin kamu. Nggak papa dingin, yang penting, keponakan tante udah sampai dengan selamat," balas tante Prili dengan senyum manisnya yang terlihat seperti kelelahan. Ah, mungkin mereka mengantuk, akibat menuggu Sheila hingga larut.
"Ayo, masuk!" Eyang melangkah masuk diikuti oleh tante Prili dan Sheila. "Istirahat langsung. Pasti capek nih, perjalanan Yogyakarta-Jakarta."
"Iya, Eyang."
Sheila memasuki kamar dan langsung membersihkan diri sebelum tidur. Ia juga menyiapkan mata kuliah untuk esok. Namun entahlah, ia akan tetap kuliah atau tidak.
Rasanya barusaja tidur, Sheila sudah dibangunkan tante Prili untuk sholat subuh. Ah, padahal biasanya ia langsung dengar suara alarm, kenapa pagi ini tidak?
"Bangun, She. Sholat subuh, udah jam empat."
Sheila mengucek mata, terduduk. Mengumpulkan nyawa, lalu melangkah mengambil air wudu. Kemudian, melaksanakan sholat subuh.
Setelah dua rakaat ia kerjakan, kakinya melangkah kembali menuju ranjang, dan merebahkan tubuhnya disana. Tak lama, ia kembali tertidur. Tak ingat apapun.
Tok... tok... tok...
Seseorang mengetuk pintu. Namun tak ada respons dari pemilik kamar. Sepi. Tak ada sahutan.
"Sheila? Kamu didalam?" Berkali-kali tak mendapat jawaban, tante Prili membuka pintunya perlahan, dan menemukan Sheila masih tertidur pulas.
"Hari ini, jadwal kuliah," gumam tante Sheila. Pandangannya melirik kearah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih. "Ah, mungkin dia lelah, jadi tertidur setelah sholat subuh."
Ya, biasanya setelah sholat subuh, Sheila langsung pergi ke dapur dan membantu mereka masak, atau membersihkan rumah, tetapi tadi pagi tidak.
"Biarkan dia istirahat, Pril." Eyang datang dan menepuk pundak tante Prili pelan. "Dia pasti kelelahaan."
Tante Prili mengangguk.
Sepuluh menit kemudian...
Mata Sheila perlahan membuka. Pandangannya menangkap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Reflek, ia langsung terduduk dan berdiri hendak mengambil handuk lalu berlari ke kamar mandi.
Namun, ketika ia barusaja berdiri, kepalanya terasa pushing, jadi, ia duduk kembali untuk menetralisir.
"Udah bangun?" Suara yang sangat Sheila kenal, terdengar. Entah sejak kapan tante Prili duduk disebelahnya. Ah, mungkin ia tidak sadar.
"Tante, kenapa nggak bangunin Sheila?"
"Tante nggak tega. Kamu terlihat kecapean. Istirahat dulu aja, besok baru kuliah."
Sheila terdiam. Ucapan tante Prili benar, ia merasa sangat capek. Lemas dan tak memiliki semangat untuk kuliah, meski semua mata kuliah sudah ia siapkan semalam.
"Sarapan dulu. Habis itu istirahat lagi." Setelah mengatakan itu, tante Prili keluar kamar.
Sheile mengangguk, lalu melangkah menuju dapur dan mengambil nasi serta lauk pauknya. Lauk pagi ini ada sayur kangkung dan gorengan tempe, serta ikan asin. Lauk kesukaannya dan Sheli.
Melihat makanan itu, ia jadi teringat Sheli kembali. Apa kabar dia hari ini?
Semoga, kamu bisa menjalaninya dengan baik, Sheli. Berdamailah dengan keadaan. Jangan ulangi lagi semua kesalahan yang pernah kamu lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Shefa 🍁 [end]
Novela JuvenilBaca. Jangan lupa Follow, Vote, and Voment 🍁 "Terkadang, cinta itu membutakan hati dan tidak bisa membedakan sesuatu yang belum pasti," 🍁