Happy reading 💞
"Terkadang, masalah bisa membuat kita menjadi lebih dewasa."
***
Tiga hari berlalu. Sheli sudah terbiasa duduk bersama Syarif. Mereka bahkan terlihat lebih akrab. Terkadang saling bercanda dan tertawa bersama. Setiap ada tugas kuliah, selalu mereka kerjakan bersama.
Bagaimana dengan Sania dan Fathia? Ah, Sheli lupa bahwa mereka juga temannya. Sania dan Fathia makin menjauh. Membuat Sheli semakin bingung dengan mereka. Apa salah Sheli, hingga mereka tak mau berteman lagi dengannya? Terdengar seperti anak kecil!
Sheli menyikapi sikap mereka dengan dewasa. Tetap tidak peduli. Bukan sombong, ia bahkan tak segan-segan untuk sekedar menyapa, walaupun mendapat respons yang tidak ia harapkan.
"Apa lo? sok-sokan nyapa!" Itulah yang Sania ucapkan ketika Sheli menyapa dengan kalimat 'Hai, Sania.', 'Tumben nggak ke kantin' atau 'Lo kenapa nggak ke perpustakaan'
Dan Fathia-gadis pendiam itu selalu menyambung. "Iya tuh. Sok ramah!"
Sheli hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.
"Terkadang, masalah bisa membuat kita menjadi lebih dewasa." Satu kalimat yang terlontar dari mulut ibu, selalu terngiang dikepala Sheli.
"Masalah itu harus dihadapi. Bukan dihindari." Wajah ibu dengan senyuman khasnya, muncul di angan-angan.
"Syarif, nanti pulang bareng lagi ya. Motor gue belum diambil," ucap Sheli ketika mata kuliah terakhir sedang berlangsung.
"Sorry, gue nggak bisa."
Deg!
Sheli terdiam. Semenjak motornya rusak, Syarif dengan senang hati mengantarnya sampai rumah, tetapi kenapa hari ini dia menolak?
"Gue udah ada janji sama Verlita."
Deg!
Sheli tak bisa lagi berkata-kata. Verlita? semua orang pun tau siapa gadis itu. Gadis paling cantik yang disukai semua lelaki. Dan, apakan Syarif juga menyukai Verlita. Kenapa?
Hati Sheli terasa sesak, mendengar ucapan Syarif. Ia ingin meminta Syarif untuk membatalkan janjinya bersama Verlita, tetapi ia tak berhak.
Aduh, kenapa gue jadi cemburu gini sih? Nggak. Gue nggak mungkin jatu cinta sama dia, Sheli menepis rasa sedihnya.
Semenjak ia duduk bersama lelaki itu, rasa nyaman tumbuh diantara keduanya. Bahkan, ia mampu membunuh perasaan sedih karena Revan. Menurut pandangan Sheli, Syarif itu lebih tampan dari Revan-mantannya. Lelaki yang sangat menjaga jarak dengan gadis yang selalu mengejarnya.
"Maaf," ucapnya kembali.
Sheli mengangguk. "Nggak papa."
***
Sheli masih menunggu taxi online yang ia pesan di halte. Jemarinya terus memainkan ponsel, berharap bisa mengusir rasa bosannya. Cukup lama ia menunggu.
Pandangan Sheli menatap sekitar. Para mahasiswa berlalu lalang dengan motor mereka. Ada yang mampir ke toko buku depan kampus, ada yang ke Cafe, dan ada juga yang memilih diam menunggu jemputan di halte, seperti Sheli sekarang.
Arah pandang Sheli berhenti disatu titik. Yang mana terlihat seorang lelaki yang sangat ia kenal, mulai mengendarai motor, dengan seorang gadis yang sangat familiar. Lihatlah! Dia Sania yang membonceng Revan.
Sheli menyipitkan mata. Memperjelas pandangan. Apakah benar, mereka itu Sania dan Revan? Kok bisa? Apakah diantara mereka ada hubungan? Ah, sekarang bukan waktunya memikirkan itu.
Lima belas menit berlalu. Tetapi taxi yang ia pesan belum juga sampai. Satu-dua mahasiswa sudah mulai pulang. Hanya tersisdirinya yang masih duduk di halte.
Bosan. Ia sangat bosan. Ingin sekali cepat sampai rumah dan langsung menenggelamkan wajah ke bantal. Kenapa taxi nya lama sekali? Menyebalkan.
"Hai." Seorang gadis dengan rambut diikat satu, tiba-tiba duduk disebelah Sheli. "Kenapa lo?"
Talia-teman satu fakultas itu bertanya.
"Nggak papa."
"Sedih?"
Sheli menggeleng. Ia baru pernah berbicara dengan Talia. Ia hanya kenal sebatas cerita orang saja. Dan sekarang ia tau Talia yang sebenarnya, dia ramah.
Sepanjang Sheli menunggu taxi, Talian terus mengajaknya berbicara. Bercanda dan tertawa, serta membahas hal-hal yang konyol.
"Ternyata lo anak yang ceria ya," ucap Talia dengan senyum yang menghiasi wajahnya. "Tetapi, kenapa akhir-akhir ini lo jadi pendiam? Gue bahkan tak menemukan sikap lo yang ceria seperti tadi."
Sheli terdiam.
Ingin rasanya ia mencurahkan seluruh isi hatinya pada gadis yang kini duduk disebelahnya, namun hatinya masih ragu. Takut jika ia mencurahkan semuanya, Talia akan mengejek dan malah lebih mendukung Sania.
Apa yang harus ia lakukan?
"Kalo lo ada masalah, cerita deh sama gue. Kalau gue bisa bantu, akan gue lakukan."
Ucapan Talia terdengar meyakinkan. Oke, Sheli akan menceritakan semuanya.
"Sebenarnya, satu minggu yang lalu-" Belum sempat Sheli menyelesaikan ucapannya, Talia lebih dulu menabrak.
"Lo tau nggak? Sania sama Revan pacaran tau."
Deg!
Hati Sheli mencelos. Sisa-sisa semangatnya seakan hilang begitu saja. Apakah yang dikatakan Talia benar?
"Nggak mungkin!" Sheli menatap Talia tidak percaya.
"Lo nggak percaya? dia udah pacaran dari tiga bulan yang lalu."
"Darimana lo tau?"
"Semua orang tau, Shel. Hanya kamu yang nggak! karena semua anak, diminta Revan agar jangan sampai lo tau."
Sheli terdiam menunduk. Ternyata, dibalik semua ini, Revan dan Sania pacaran.
"Mereka pacaran udah lama. Bukankah Revan dan Sania juga menjauh dari lo?"
Sheli masih terdiam. Dalam hati membenarkan ucapan Talia.
Tak lama, taxi pesanan Sheli datang. Setelah pamit, ia bangkit dan langsung memasuki taxi dengan air mata yang menetes susul menyusul.
***
Sampai rumah, Sheli langsung menenggelamkan wajah dibalik bantal. Tangisnya semakin terdengar. Air matanya semakin mengalir deras.
Ia bukan menangis karena Revan pacaran dengan Sania. Tidak. Tetapi, ia menangis karena dikhianati seorang sahabat.
Bayangkan saja, seorang sahabat yang selama ini dia anggap sebagai saudara sendiri, dengan tega mengkhiataninya.
Sheli kecewa. Sangat kecewa. Ia sama sekali tak menduga bahwa inilah cerita yang sebenarnya.
Harapan Sheli selama ini bersama Revan, hanyalah angan-angan yang tak akan pernah bisa diwujudkan. Dia terlalu cinta, hingga cinta itu membutaka n semuanya.
Jadi, itu alasan kenapa lo memutuskan gue secara tiba-tiba, bisiknya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Shefa 🍁 [end]
Novela JuvenilBaca. Jangan lupa Follow, Vote, and Voment 🍁 "Terkadang, cinta itu membutakan hati dan tidak bisa membedakan sesuatu yang belum pasti," 🍁