01

89 5 6
                                    

Cahaya mentari pagi sudah mulai merangkak menyinari bumi. Ditemani kicauan burung, menambah keceriaan pagi ini. Didalam sebuah kamar, seorang gadis sudah rapi dengan seragam lengkap sekolahnya sedang duduk menatap sebuah figura dihadapannya.

Rania Akcaya, gadis itu menatap sendu setiap deret orang yang menampilkan senyum terbaik mereka. Senyum yang tidak ia temukan lagi sekarang, terutama dari dua gadis lainnya.

Cklek

"Ck..kalau sudah siap segera turun. Apa aku harus selalu memanggilmu? Merepotkan saja.."

"Maaf kak Lia, aku akan turun sekarang" Rania menyimpan kembali figuranya, lalu menyambar tas sekolahnya.

.
.
.
.
.

Seperti sebelum-sebelumnya, sarapan hari ini juga terdengar sunyi. Hanya sesekali suara alat makan yang saling beradu. Suasana yang dibenci Rania semenjak kedua orang tuanya meninggal, dan mengubah sifat kedua kakaknya.

"Nanti sore bibi Tifanny akan datang" Agatha Akcaya, si sulung memecah keheningan.

"Dan kau Lia, jaga sikapmu nanti"

"Tergantung kondisi" jawab Lia acuh. Tidak ada yang memperhatikan, tapi si bungsu sedang tersenyum tipis menantikan sosok yang dirindukannya.

Sesudah sarapan Rania langsung berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya karena jarak yang tidak terlalu jauh. Disusul Lia yang pergi ke kampus bersama Agatha yang akan pergi ke kantor menggunakan mobilnya.

Sesampainya di kelas, Rania langsung menuju tempat duduknya yang berada di baris belakang. Di sekolah Rania hanya memiliki dua orang teman, Deana Surya yang duduk disebelahnya dan Yuta Permana dari kelas sebelah. Sifatnya yang terlalu menutup diri menyulitkan murid-murid yang lain mendekatinya.

"Pagi Ran" sapa Deana

"Pagi juga. Tidak biasanya kau datang pagi, menyalin tugas lagi?"

"Hehe...begitulah. boleh pinjam tugas biologimu? Punya Yuta jawabannya aneh" jawab Deana dengan cengir kuda membuat matanya yang sipit semakin terjepit.

"Salin dengan cepat sebentar lagi bel masuk" Rania menyerahkan buku tugasnya yang disambut sukacita oleh Deana.

.
.
.
.
.

Matahari sedang berada di titik tertingginya, memancarkan sinar yang amat menyengat. Jauh didalam bangunan yang juga menjulang tinggi terlihat Agatha sedang mengobrol dengan seorang wanita yang terlihat sedikit mirip dengannya, namun lebih tua. Wanita itu adalah bibinya Tifanny, adik dari ayahnya.

"Hah....kalian masih mengasingkannya? Jangan seperti ini, dia juga adikmu" ujar Tifanny menenggak teh yang disediakan.

"Tidak bisa. Cukup dengan membiarkannya tinggal bersama kami. Itupun karena kau yang memintanya dan kami masih menghormatimu karena kau adik ayah. " jawab Agatha dengan ketus.

"Aku memintamu untuk menerimanya Agatha.." balas Tifanny melembut.

"Ya dengan tinggal dirumah bersama, sama saja bukan?" Kali ini Agatha menyesap teh panasnya.

"Tapi kau tidak memberikan kasih sayang padanya."

"Kasih sayang? Untuk apa? Dia saja merebut kasih sayang kami. Dia yang membuat Ayah dan Bunda meninggal, apa bibi lupa?." Pancaran Benci terlihat jelas di wajah Agatha yang kini menegang. Ingatan tentang kejadian kelam itu kembali muncul ke permukaan

"Hah sudahlah aku malas bertengkar denganmu. Kembali ke ruanganmu sana" Agatha pun menunduk pamit sebelum keluar dari ruangan bibinya yang merangkap sebagai bosnya juga.

Sepeninggal Ayahnya, perusahaan ayahnya dikelola oleh sang bibi untuk sementara. Sampai Agatha siap untuk mengambil alih dan meneruskannya. Walaupun benci, tak bisa dipungkiri bahwa ia masih membutukan bibinya saat ini. Karena itu ia masih menerima permintaan Tifanny untuk menerima Rania di rumah mereka.

.
.
.
.
.

"Aku pulang"

"Tidak akan ada yang menyahut Rania, dasar bodoh" gumamnya lalu melepas sepatu dan meletakkannya di rak. Setelahnya ia langsung menuju kamarnya untuk mengganti baju dan mengerjakan tugasnya.

Tidak berselang lama pintu depan kembali terbuka, menampilkan Lia yang datang dengan wajah lelahya. Ia membanting pintu dengan keras lalu menjatuhkan dirinya di sofa ruang tengah. Rania yang mendengar suara keras langsung keluar dari kamarnya menuju pintu depan.

"Kak Lia kenapa?" Tanya Rania saat mendengar suara isakkan kecil. Segera Lia menghapus airmatanya dan menatap Rania tajam.

"Pergi, aku muak melihatmu"

"Kakak ada masalah? Mau cerita denganku? Aku pendengar yang baik kok"

"Ya ada. Kau masalahnya"

"Aku? Apa salahku?" Tanya Rania dengan wajah bingung namun takut.

"Salahmu? Karenamu Ayah dan Bunda meninggal !!, kenapa tidak kau saja yang mati hah?!" Lia menumpahkan semua emosi yang selalu dipendamnya sekarang.

Rania hanya memegang dadanya yang terasa ngilu karena teriakan kakaknya tadi. Apa maksud ucapannya? Kenapa kematian orang tua mereka disalahkan kepadanya?.

"Mereka meninggal karena kecelakaan kak, bukan karenaku" jawab Rania berusaha memeluk kakaknya yang sudah berlinang airmata. Namun Lia malah mendorong Rania hingga ia terjatuh cukup keras.

"Mereka kecelakaan karena dirimu anak sialan!!"

"Aku selama ini menahannya karena kak Agatha selalu menahanku. Tapi akan kuberitahu kau kebenarannya sekarang. Ayah dan Bunda meninggal karenamu. Mereka kecelakaan juga karena dirimu!!"

Lia terus menghujami Rania dengan fakta kematian kedua orang tuanya, mengabaikan Rania yang sudah menangis kuat sembari memegang dadanya. Teriakannya terhenti saat Agatha dan Tifanny masuk kedalam rumah.

"Apa yang kau lakukan Lia?!!" Tifanny langsung memeluk Rania yang masih menangis hebat.

"Ada apa ini?"

"Memberitahu fakta yang kau sembunyikan bibi" jawab Lia lalu berlalu ke kamarnya. Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, Agatha ikut menyusul adiknya itu.

"Itu hiks..tidak benar hiks... kan bi..??" Rania masih sesenggukan didalam pelukan tifanny.

"Kak lia bohong kan bi?" Lanjutnya. Setelahnya ia semakin kuat meremas dadanya yang terasa sangat menyakitkan. Keringat dingin mulai membasahinya, diikuti kepalanya yang juga terasa sakit.

"Shush...jangan menangis, Lia hanya lelah"

"Jangan menangis lagi hm?" Tak mendapat jawaban, Tifanny melihat gadis dipelukannya yang kini sudah terpejam namun terlihat pucat.

"Ran? Rania? Hei kau kenapa?" Tifanny terus menepuk pipi keponakannya itu. Merasa panik, ia segera membawa Rania ke rumah sakit tanpa memberitahu Lia dan Agatha.

.
.
.
.
.












FAULT  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang