° 14 °

237 60 2
                                    

Dinginnya udara pagi merasuk hingga ke tulang. Tidak peduli dengan itu, seorang laki-laki mempercepat langkahnya di sepanjang sungai. Laki-laki itu beristirahat sebentar sembari memandang sekeliling. Pemandangan saat mentari terbit memang yang terbaik untuk memanjakan mata, membuat dirinya mau tak mau tersenyum kecil.

Setiap akhir pekan ia akan setia menatap pemandangan di depannya. Jam berapapun ia pulang ke rumah, ia akan menyempatkan diri bangun pagi untuk lari kecil sepanjang sungai. Itu kenapa performa laki-laki itu saat olahraga tidak perlu di ragukan lagi.

"Ma liatt! Mataharinya terbit Ma," seorang anak laki-laki yang duduk di atas bahu papanya tampak menggoyang tangan mamanya yang sedari tadi ia genggam.

"Iya bagus yaa, sekarang kamu turun yu, kita naik sepeda lagi," sang istri membantu suaminya untuk menurunkan buah hati mereka.

"1 2 3," sang ayah bersuara seraya mendorong sepeda sang anak.

Adegan kecil dari keluarga bahagia itu tak lepas dari netra Juna. Pemuda itu memejamkan mata, rindu akan sang mama yang telah bahagia di atas sana. Ia memutuskan untuk beranjak dan pulang ke rumahnya.

Tidak berapa lama ia berlari kecil, bangunan menjulang itu sudah dapat di tangkap oleh pandangan. Ia menekan kata sandi apartemennya, lalu berdiam sebentar.

"Aku pulang," ucapnya.

Juna biasanya akan langsung masuk ke apartemennya, tapi kali ini ia melihat sepatu yang ia kenali di depan pintu masuk tadi. Menduga bahwa orang tersebut datang untuk sekedar mengecek keadaannya dan mengisi kulkasnya.

"Makan dulu sini Jun," benar saja ternyata orang tersebut sudah menyediakan berbagai hidangan di atas meja.

"Tante udah lama?" Juna mendudukkan dirinya di kursi.

"Ngga ko," sang tante ikut mendudukkan diri di depan laki-laki itu.

"Makasih ya Tan," laki-laki itu berucap seraya menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

"Tenang aja, ini udah jadi kewajiban Tante," wanita paruh baya itu menjawab.

Laki-laki itu mengunyah makanannya seraya berpikir. Dulu hubungan mereka tidak sedekat itu, ia hanya akan bertemu adik dari sang ibu sesekali, mengingat ia sudah tidak memiliki kakek dan nenek untuk di jenguk. Terakhir Juna tahu, tantenya itu wanita karir yang cukup sibuk dulunya. Namun, entah kenapa semenjak kakaknya meninggal, ia lebih melonggarkan waktunya untuk mengurusi Juna. Pemuda itu pikir mungkin sang mama sudah memberikan pesan untuk mengurus dirinya bila ia tak ada.

"Kamu ga pulang ke rumah Jun?" wanita paruh baya itu berucap.

"Ini rumah," Juna menatap wanita di depannya dengan bingung.

"Bukan ini Juna, rumah kamu di Citaprasada," wanita itu menatap keponakannya dengan lembut.

Laki-laki itu bahkan lupa jika ia memiliki 'rumah' tempat segala kenangan lamanya di tinggalkan. Bangunan kokoh yang berdiri di ujung jalan Citaprasada. Rumah yang selalu mengingatkannya pada sang mama dan laki-laki paruh baya yang segan ia akui sebagai orang tuanya. Mungkin juga tempat terakhir yang akan terpikirkan olehnya sebagai tempat singgah.

"Terima kasih atas makanannya, lebih baik Tante Luna pulang sekarang," laki-laki itu menaruh sendoknya dan berjalan ke kamarnya.

Dapur itu lengang sepeninggal Juna. Luna terdiam, kecewa dengan keadaan sekarang yang tentu saja akan membuat sang kakak kecewa. Hubungan keponakan dan iparnya menjadi kurang baik sepeninggal kakaknya. Rasa bersalah yang semakin menghantui memaksa buliran air keluar dari pelupuk matanya. Sebelum ia tertangkap menangis di apartemen keponakannya sendiri, akan lebih baik baginya untuk beranjak pergi dari tempat itu.

Bitter PunchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang