Nggak butuh waktu lama bagi Revalina menelepon dan mengajakku menjaili Nadia. Besok paginya, setelah Raven berangkat ke kantor, Revalina menghubungiku untuk mengatakan, "Ready for some fun today?"
"Yes," kataku, meski nggak tahu maksudnya apa.
"Aku jemput kamu nanti siang, ya. Kita harus ke Tanah Abang sebentar, sambil lewat."
"Untuk apa ke Tanah Abang?"
"Belanja kostum!" jawab Revalina ceria.
Aku nggak berani menanyakan macam-macam, karena nanti kesannya aku nggak mengikuti permainan. Seperti di film-film saja, ketika satu tokoh mengangguk, tokoh yang lain mengangguk juga dan tiba-tiba paham apa yang ada dalam pikiran tokoh pertama tadi. Jadi, aku mengangguk juga. Meski Revalina nggak bisa melihatnya. Intinya, aku siap sedia melakukan apa pun itu, demi Nadia.
Sambil menunggu siang, aku berendam lagi di bathtub ukuran jumbo. Karena sekarang masa-masa suburku, rasanya gelisah sekali mengingat kejadian semalam yang nggak terjadi apa-apa. Kamu tahulah maksudku. Ada sejenis harapan yang harus sirna gara-gara ketololanku sendiri. Semalaman aku dibuat resah karena kami tinggal melakukannya. Tinggal masuk, gitu. Tapi nggak ada. Raven malah mendadak menjadi laki-laki gentle yang hanya memelukku semalaman meski botol sampanye itu masih mengganjal di bawah perut kami.
Padahal perjumpaan pertama kudengar dia bilang fuck you fuck you di telepon seolah-olah dia penguasa dunia. Seolah-olah semua wanita harus mengangkang di depannya. Lah, itu aku sudah ngangkang. Kok, nggak diapa-apain?
Apa aku kurang menarik, ya?
Aku menenggelamkan diriku di dalam air bathtub yang hangat, kemudian megap-megap keluar ke permukaan karena nggak bisa bernapas. Dadaku juga sesak karena airnya kepanasan. Kupikir aku bisa seperti di video klip, tenggelam di dalam bathtub dengan dramatis karena sedih akan sesuatu. Namun bathtub-nya kebesaran. Ini saja sudah nggak mirip dengan yang ada di video klip.
Akhirnya aku hanya mengambil banyak sekali foto selfie berbagai gaya di dalam bathtub. Tentu saja aku telanjang bulat, dibaluti busa-busa sabun berwarna putih. Toh, ini untuk koleksiku pribadi. Malah, aku membuat teh kamomil yang—anehnya—tersedia di laci-laci dapur, kemudian kutuang ke dalam gelas sampanye mengingat warna airnya sama.
Aku nggak bisa meminum sampanye karena itu minuman haram. Namun, berfoto sampai dikira orang minum sampanye kan nggak haram. Sekitar pukul sebelas siang aku baru selesai berendam. Semua kulit jemariku keriput seperti kulit kera.
Pada titik itu, aku merasa bahagia menjalani hidup ini. Aku tahu, situasiku masih nggak aman dengan adanya Nadia di luar sana berpikir aku sedang merebut Raven darinya. (Secara teknis, dari perspektifnya dia sih, iya.) Meskipun aku juga nggak begitu yakin sebesar apa Raven mencintaiku (aku berencana menyanyikan lagu Agnes Monica, "Cintakuuu sedalaaam ... samudera!" di depan Raven, siapa tahu dia terpancing untuk mengakui ukuran cintanya kepadaku). Aku percaya rasa itu benar-benar ada, hanya saja nggak kelihatan.
Atau nggak kedengaran. Seperti suara ultrasonik yang hanya bisa didengar lumba-lumba.
Aku menyimpulkan, seks pertamaku akan kuberikan kepada Raven. (Aku sudah bilang kan, ya? Ya sudah, kubilang sekali lagi. Siapa tahu kamu lupa.) Begitu banyak yang mendukungku bersamanya. Kurasa aku perlu berjuang juga mendapatkannya, meski Nadia adalah nerakanya.
(Dan juga, aku masih ingin pergi ke Meldaivs.)
Revalina menjemputku tepat setelah makan siang. "Aku sudah bilang Raven mau ngajak kamu pulang bareng ke rumah Boon," katanya. "Dia nggak tahu kita ke Tanah Abang. Jadi, jangan ngasih tahu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...