Chapter 23: Rain

688 18 0
                                    

Niall’s POV

            Suasana pagi ini terasa sangat menyegarkan. Udanya begitu sejuk dengan sautan-sautan burung di pohon besar sebelah rumah ini. Dapat kucium aroma masakan dsari lantai bawah. Perutku lapar…

            Kubuka pintu pintu kamar dan kudapati Jasmin tengah berjalan dari kamarnya melewati kamarku.

“Mor–“

“Go inside the room!” teriaknya lalu mendorongku kembali masuk ke dalam kamar dan dia mengunci kamar ini dari luar.

“H-hei, ada apa? Biarkan aku keluar!” teriakku kebingungan dengan apa yang terjadi.

“Tidak sampai kau memakai bajumu!” balasnya sambil terus menahan pintu ini dari luar. Aku melihat diriku sendiri dan kudapati aku hanya menggunakan boxer-ku saja. Tanpa pakaian. Berdua dengan seorang gadis. Ok, it’s weird…. Kuambil kaos berwarna biru tua yang tergeletak tidak beraturan di atas tempat tidurku.

“I’m done with my clothes. Please open the door. I wanna….. eat,” lanjutku mengungkapkan apa yang kurasakan. Aku ini anak polos yang terlalu jujur. Akhirnya Jasmin membuka pintunya dan ketika aku melihat kearahnya dia telah jalan menuruni tangga.

“Tidak ada sarapan jika kau lengahlagi,” ucapnya ketika aku berjalan di belakangnya.

“Yes, ma’am! Hei, ibu dan ayahmu kemana?” tanyaku ketika tidak dapat menemukan kedua orang tua Jasmin.

“Mereka ke rumah sakit duluan. Nanti siang mereka akan menjemputku,” balasnya memberikanku sebuah piring.

“Ohh,”

“Kau mau ikut?” tanyanya lagi sambil berjalan menuju ke arah dispenser di pojok ruangan.

“Boleh saja,” balasku. “Jadi siapa yang memasak ini semua?” lanjutku bertanya.

“Tentu saja aku, bodoh. Kau kira makanan ini akan terbang dari mimpi-mimpimu,”

“Aku kurang yakin dengan rasanya…” ucapku sedikit menyinggungnya dengan candaan. Dan tiba-tiba kurasakan hujan jatuh tepat di atas kepalaku.

“Ohh, so you dare me, girl?” tanyaku menyiramnya dengan segelas air mineral di sebelahku.

“No! You make me wet, Niall!” serunya melihatku kesal. Dia mengejarku mengelilingi rumah. Kami berdua hanya saling tertawa mengejar satu sama lain. Seperti anak kecil hahaha.

“Just like little kids…” ucap ibu Jasmin melihat kelakuan kami berdua. Lantai rumah menjadi banjir dengan air di seluruh penjuru rumah.

“We’re so sorry, Mum…” ucapku dan Jasmin menunduk melihat kelakuan kami berdua. Dan.. Hukumannya adalah membersihkan seluruh penjuru rumah besar ini dengan lap pel. Hanya berdua. Gila. Ini gila, argh!

“Kalau kau tidak berkata begitu aku akan menonton acara TV kesukaanku tanpa harus mengepel rumah, huh,” ucap Jasmin terlihat kesal.

“Hei, kau yang memulai. Kau menyiramku dengan segelas air itu,” balasku berusaha membela diri.

“Pokoknya kau yang mulai, wee,” lanjutnya memeletkan lidahnya. Heem, ingin rasanya aku menarik lidahnya itu. tiba-tiba aku melihat Jasmin terpeleset dan hampir terjatuh. Untung aku sempat menangkapnya.

“Th-thanks, Niall,” ucapnya terbata-bata. Wajahnya tampak pucat dan banyak keringat mulai bercucuran. Gawat.

“Are you alright, Jasmin?” tanyaku membantunya duduk di atas sofa. Dia hanya menangguk. Aku berjalan mencari kedua orang tuanya. Aku sedikit khawatir dengan keadaan Jasmin.

“So-sorry,” sapaku pada mereka di halaman.

“Yeah, what happen, Niall?” tanya Tuan Lareina.

“Something happen with Jasmin,” lanjutku. Mereka berdua terlihat begitu kaget dan mulai bergegas ke tempat Jasmin. Ibunya mengambil segelas air dan ayahnya mengambil beberapa obat di lemari. Saat ini aku hanya sebagai pengganggu. Tidak dapat melakukan apa-apa. Ya. Bodoh.

“Jasmin, kau tidak apa-apa, sayang? Minum ini,” ayahnya memasukkan beberapa obat ke mulut Jasmin dan menegakkan beberapa tegakan air mineral.

“Sa-sakit…” eluhnya menutup matanya dan mulai menggigit bibir bawahnya. Kedua orang tuanya terus menangkannya dan menunggu obat-obatan itu bereaksi. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Aku bukan apa-apa di sini. Hanya sebagai pengamat yang sangat sakit melihatnya kesakitan.

“Niall, can you help me,” panggil ayah Jasmin. Kami berdua mengangkat tubuh Jasmin masuk ke dalam kamar dan meletakkannya di atas tempat tidur. Dia sama sekali tidak kehilangan kesadarannya.

“Ma, nanti siang kita ke sana, kan?” tanyanya masih terlihat kesakitan.

“Kita akan ke sana, sayang. Kau harus bisa hilangkan rasa sakitmu secepat mungkin,” balas ibu Jasmin. Jasmin hanya tersenyum.

“Niall, kami titip Jasmin. Kami harus menemui dokter dahulu,” ucap ayah Jasmin mulai meninggalkan kamar dengan istrinya. Aku mulai mendekatkan diriku di dekat Jasmin dan duduk di sebelahnya.

“Niall, are you there?” tanya Jasmin.

“Y-yes. I’m here,” balasku memegang tangannya yang terasa sedikit dingin.

“Kau tidak menangis lagi, kan?” dia tertawa kecil melanjutkan perkatannya.

“Gadis, bodoh. Aku tidak mengkhawatirkanmu, kau tahu,”

“Kau berbohong, hahaha. Aku dapat melihatnya dari mataku sendiri,”

“Dasar…” sepanjang kami menunggu kedua orang tua Jasmin, kami terus mengobrol hal-hal tidak jelas. Dapat kurasakan Jasmin mulai kehilangan rasa sakitnya. Dasar gadis bodoh yang kuat.

.

.

“David..” ucap Jasmin tidak percaya ketika melihat seorang laki-laki tengah terduduk di atas ranjang sebuah rumah sakit.

“Oh ah, Jasmin..” balas laki-laki itu sedikit menunjukkan wajahnya. Jasmine tidak bereaksi apapun. Tanganku bergerak sendiri dan berusaha menyentuh bahunya. Namun sebelum sempat tangan ini menyentuhnya, dia telah terlebih dahulu berlari. Berlari menerjang laki-laki berambut hitam itu dan menangis deras dalam pelukannya. Lagi-lagi kurasakan jutaan ton batu-bata terasa meremukkan hatiku. Kupasang senyumku melihat mereka berdua. Lima meter dari tempatku ini. Berpelukan. Dua orang yang saling mencintai. Mengapa aku sesakit ini.

            Tuhan, mengapa kau ciptakan sebuah rasa sakit untuk manusia. Mengapa kau membiarkan rasa itu terus tumbuh di hati seseorang. Dan mengapa kau harus mencipkan suatu pihak yang akan terluka.

            Tuhan, kapan kau akan membuatnya menjadi milikku. Kapan kau akan membuatnya memberikan pandangan yang sama padaku seperti yang dia berikan padanya. Kapan kau akan membuatnya memberikan senyuman yang sama padaku seperti yang dia berikan padanya. Dan kapan kau akan membuatnya memberikan rasa cinta yang lebih padaku dari yang dia berikan padanya.

            Akankah dia melihat punggungku? Akankah dia berbalik melihatku? Aku bukan seperti tetesan air hujan yang menyamarkan tangisan di bawahnya. Aku bukan sebuah manekin yang tidak dapat mencintai dan terluka. Tapi mengapa. Mengapa kau memperlakukanku seperti itu? Aku di sini, kumohon. Lihatlah aku. Aku berdiri di sini untukmu. Mengharapkanmu untuk bisa membalikkan badanmu dan tersenyum padaku.

.


.



When Asphodel Start to BloomWhere stories live. Discover now