Hari kamis. Air hujan terus turun tanpa henti. Membasahi genting usang sekolah tua yang berdiri puluhan tahun lalu. Sial! Kenapa harus datang hujan pada jam sore seperti ini. Kenapa alam tak pernah kasihan padaku. Apakah dia tak tahu, suasana seperti itu, sangat membuatku capek dan banyak kerjaan.
Aku yakin sepuluh detik lagi, akan ada orang yang memanggilku.
"Dahnil!!"
Benarlah, Anthony lari terbirit-birit menghampiriku ketika tengah terduduk. Air mukanya penuh kecemasan di antara rintik hujan yang turun.
"Hana kesurupan!" lirihnya.
Aku memandang pekat dirinya yang gemetaran. Secepat kilat dia menarikku dan kami berlari ke tempat di mana Hana dirasuki makhluk itu.
Kaki ini, berdiri di antara kerumunan orang yang menyaksikan aksi ketegangan itu. Aku melihat jelas Hana mencekik dirinya sendiri dengan teriakkan yang menakutkan. Bulatan hitam di tengah matanya hilang, berganti dengan warna putih pucat.
Aku pun, melihat pak Helmi yang berdiri di situ tanpa bertindak apa pun. Sebagai guru, harusnya dia bisa mengatasinya. Dasar!
Seketika aku menangkap sesosok yang berdiri di pinggir Hana, berbalut kain tercampur tanah dan rambut panjang acak-acakan. Dia menatap lekat padaku membuat dada ini bergetar hebat.
Segera, aku melakukan aksiku yang seperti biasa dilakukan saat menghadapi situasi seperti ini.
Aku membacakan doa khusus yang diberikan dari kakekku dengan menyentuh sedikit telapak tangan Hana yang masih menempel kuat di leher jenjangnya.Aku memalingkan pandangan ke Hana, yang seketika mulut pucatnya mengeluarkan daging seperti habis dicincang tercampur dengan darah merah segar. Mataku terbelalak tak menduga. Tidak seperti biasanya dia muntah menjijikkan seperti itu. Biasanya dia hanya muntah air saja.
Semua orang yang menyaksikan memandang ketakutan. Bau anyir pun menyeruak menyebabkan mereka menutup hidung.
***
Setelah sekolah kembali tenang dari suasana yang genting, hujan pun juga ikut mereda. Aku berkesempatan bisa pulang ke rumah untuk mengistirahatkan diri. Aku berlari ke arah tempat parkir, menyalakan motor, dan bergegas pergi.
Di perjalanan yang kelabu, aku memikirkan diriku sendiri.
Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak tanpa ibu yang hidup bersama kakek dan nenek.Entah berapa kali aku menghadapi kejadian yang menimpa gadis cantik seperti Hana. Seingatku, setiap hari kamis dia membuat semua orang menjadi ketakutan. Yang pasti, setiap diiringi hujan, pastilah dia akan kesurupan seperti itu. Dan, lagi-lagi harus aku yang menanganinya.
Kata sebagian teman, aku memiliki keistimewaan. Salah satunya mampu menolong orang yang terkena gangguan makhluk halus. Tidak hanya itu, aku sendiri sadar, kemampuan yang lain adalah bisa melihat makhluk lain, di mana orang lain tak bisa melakukannya.
Kemampuan yang aku miliki saat ini, bagiku adalah salah satu kekurangan. Sebenarnya aku sangat tersiksa dengan keadaan aku seperti ini. Hidupku sungguh tak tenang. Aku selalu dikagetkan dengan penampakan-penampakan yang kadang membuat bulu kuduk merinding.
Ingat, saat kejadian minggu lalu, aku melihat lelaki berseragam SMA dengan wajah tak berbentuk yang dibalut darah duduk di samping Anthony, tapi Anthony tak melihat apa pun.
Kata kakek, ibu meninggal. Tapi dia tak pernah menceritakan apa penyebabnya. Karena di setiap kesempatan aku mengutarakan pertanyaan, dia enggan menceritakan hal sebenarnya.
"Nanti, kamu akan tahu sendiri, Dahnil." Selalu seperti itu, jawaban yang terlontar dari bibir keriput kakekku.
Aku tak pernah memaksa. Karena batinku memegang pernyataan kakek, bahwa suatu saat aku pun akan tahu hal sebenarnya. Biarkan waktu yang menjawab.
Lalu, soal ayah? Sama. Kakek mengunci rapat mulutnya jika di suguhkan pertanyaan mengenai sesosok lelaki yang dinamai Ayah itu.
"Dia ada, tapi tak menganggapmu ada."
Begitulah kalimat yang terlontar, ketika aku mendesaknya untuk bercerita soal ayah. Sejak saat itu juga, aku mengerti dan tak mau meminta cerita lagi. Karena buih-buih yang menyakitkan, terus menyayat hati tanpa belas kasih.
Aku memberhentikan perjalananku, karena sudah sampai di rumah. Seperti biasa, kusimpan kendaraan yang telah menemaniku pergi kemana pun di ruang istirahatnya. Disandingkan dengan sepeda ontel kakek yang dia pakai untuk berjualan sayur pagi hari tadi.
Sebelum masuk rumah, aku menatap si perak baik hati itu. Dia tak pernah mengeluh untuk membantu kakek mengais rezeki. Walaupun dibebani dua keranjang rotan yang berat karena terisikan berbagai macam sayuran, dia tak pernah mengeluh sedikit pun. Dia tetap kuat. Tak pernah sekalipun kedua roda atau bagian lainnya rusak.
Aku tersenyum melihat sepeda itu, dan segera masuk ke dalam untuk menemui kakek, setelah melepas sepatu dan kaos kaki.
"Assalamualaikum, bah!" sapaku pelan pada lelaki kuat itu yang tengah terduduk di hamparan sejadah lusuh menghadap ke jendela. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan abah atau bah.
Aku menciumi punggung tangan yang telah terlapis kulit keriput dan kasar. Terlihat sekali tonjolan urat yang membentang di dalam kulitnya.
Aku tinggal di sebuah rumah sederhana yang terletak di desa yang jauh dari perkotaan.
"Bagaimana sekolahmu, Dahnil?" tanya kakek perlahan.
Aku mengingat kejadian tadi, kuceritakan semuanya, sedetail-detailnya. Mereka tak bosan untuk mendengarkan setiap apa yang kutumpahkan. Pengertian yang terselip di benak sepasang kekasih yang menjadi perawatku itu, selalu disembahkan pada diriku, sebagai tanda mereka mengerti dengan apa yang aku alami.
Kakek mangut-mangut mendengar ocehanku. Dialah orang yang paham dengan keadaanku selama ini. Bahkan, kakek sendirilah yang mengajarkanku doa, supaya aku tetap berada di jalur aman.
Ketika kami asyik berbincang, tiba-tiba wayang golek tua koleksi kakek yang tertata rapi di dinding bergerak sendiri.
Sontak, kami bertiga mematung karena terkejut. Namun, setelah itu kami kembali tenang.
*******
Silakan krisar, vote, komennya.
Terima kasih..
KAMU SEDANG MEMBACA
THURSDAY (ON GOING)
HorrorMereka mati dengan cara mengenaskan di hari yang sama pada waktu berbeda.