”Ia tak ubahnya tubuh yang dijejali bertumpuk-tumpuk jerami kering untuk kemudian dikenakan pakaian bekas dan di tancapkan begitu saja di tengah-tengah pematang sawah, menghardik dalam diamnya untuk mengusir dan menakuti kawanan burung-burung lapar yang siap memangsa padi-padi yang telah menguning. Bersandar pada kayu-kayu tua yang menopang sepertiga berat tubuhnya hanya untuk ditinggalkan dan ditertawakan kemudian hari ~~Ia kesepian, meski begitu sesekali kicau passeridae dan suara berisik corvus yang berkaok-kaok di sekelilingnya membuat suasana tak terasa terlalu sepi, meski pada malam-malamnya yang lain lampu bertenaga lima watt dan dengung serangga justru mengingatkannya pada kenangan-kenangan pedih yang selalu ingin ia lupakan”.
***
Ia duduk mematung sambil menatap lekat-lekat bayangan dirinya di depan cermin. Paras ayunya dengan rambut hitam yang ia biarkan tergerai melewati bahunya yang kokoh menambah kesan bahwa ia adalah gadis yang benar-benar cantik. Hanya saja tatapan matanya seolah sudah tak memiliki lagi harapan seolah binar yang pernah ada disana hilang entah kemana, meninggalkan raga penuh kerapuhan. Ada legam kehitaman dibawah matanya, sedu lagi sembab habis semalaman penuh menangisi sesuatu yang entah apa itu, bahkan kebaya putih yang ia kenakan entah mengapa terasa kusam meski itu adalah kebaya yang baru saja diambil dari butik termahal di kota itu.
Tiba-tiba seorang wanita lain masuk ke dalam ruangan, ia ingin bersuara hanya saja penampakan punggung gadis itu tak mampu membuatnya mengeluarkan kata-kata, kerutan di wajahnya nampak jelas terlihat meski penata rias sudah berusaha sekuat tenaga untuk menutupinya yang tentu saja membuat wanita ini memaklumi hal tersebut karena memang usianya yang sudah berkepala lima tak bisa ditutupi dengan bahan-bahan kimia murah di toko-toko kosmetik. Meski begitu, bekas-bekas guratan kecantikannya di masa lalu jelas masih bisa terlihat.
“Ayo nduk, semuanya udah siap”, ujar wanita ini lirih kepada anak gadisnya yang hari ini akan menikah.
Gadis ini menatap ibunya lewat balik cermin, mengusap sedikit bekas air matanya agar tak terlihat, meski usahanya jelas sia-sia karena siapapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tak menginginkan pernikahan ini, pernikahan yang tak pernah ia inginkan, tak seperti gambaran masa kecilnya dahulu ketika menikah adalah sebuah hal yang benar-benar indah.
Tidak, ia tak pernah menginginkan ini, meski begitu ia tak ingin membuat ibu dan ayahnya kehilangan wajah di hadapan para tamu yang telah hadir, oleh karenanya dengan berat, ia bangkit dari bangkunya, merapikan sedikit kebayanya dan berjalan keluar tanpa sekalipun menatap ke arah ibunya dan kemudian pintu tertutup.
***
“Burung gagak putih bersandar di bahu orang-orangan sawah yang kesepian itu, ia menangis meski tak tahu apa yang ia tangisi. Ia hanya ingin mengistirahatkan sayap putihnya yang terluka karena tak diinginkan kawanannya. Ia tak sadar bahwa orang-orangan sawah itu mendengarkan setiap rintihan tangisnya, dari hari ke hari, kemudian berganti bulan, dan tiba-tiba sudah setahun setelahnya, ia masih disana, di bahunya, menangis, meratap, mengumpat Tuhan mengapa dunia tak pernah adil kepadanya
Orang-orangan sawah itupun masih disana, tak bergerak, tak bersuara, kini malamnya tak lagi sepi, meski hanya tangisan kesedihan yang ia dengarkan, tak mengapa, asal dia tak sendirian, itu saja”.***
Laki-laki itu pernah mengatakan, sehari setelah mereka akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri. Ia menggenggam tangan gadis itu, menatapnya dengan tatapan sabar dan berujar bahwa ia tak akan menyentuhnya barang sedikitpun, jika perlu ia berkata bahwa ia rela tidur di sofa selama wanitanya tak lagi bersedih.
Ia juga menentang keputusan ayahnya, tetapi apa mau dikata, pernikahan itu sudah direncanakan, ia tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu awalnya tak percaya dan berkata bahwa tak sebaiknya suaminya berkata seperti itu, tetapi lelaki itu memantapkan tekadnya, ia tahu bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Ia bersungguh-sungguh dan benar ia memegang ucapannya, berhari-hari kemudian ia tak sekalipun menyentuh wanitanya yang masih tak menerima pernikahan itu.
Ia tertidur sendirian di sofa tua di ruang tamu rumah mereka, ia berangkat kerja tanpa membangunkan istrinya yang lelah karena semalaman menangis, ia memakan makanan yang dibuat gadis itu meski tanpa perasaan makanan itu dibuat, ia tetap melahapnya dengan penuh kerakusan. Gadis itu seolah tak percaya, ia bimbang, baru kali ini ia bertemu lelaki seperti ini. Hingga kemudian tanpa sadar, hatinya luluh.
Tiba-tiba, ia merasa bahagia, seolah menemukan lelaki yang tepat, meski ia tahu lelaki itu tak sempurna. Ia kini benar mencintainya.
***
”Burung gagak putih itu tersentak tak percaya ketika pada suatu pagi tempat ia berpijak kala menangis bertahun-tahun lamanya bergerak tiba-tiba, seolah ada ruh yang ditiupkan kesana. Ia tersadar bahwa selama ini orang-orangan sawah itu mendengarkan setiap tangisannya, setiap ratapannya, setiap umpatannya sejak pertama kali ia hinggap dan bersandar disana. Ia tak tahu bahwa selama ini orang-orangan sawah kumal itu mendengarkannya dengan sabar dan menangis ketika burung gagak putih itu pergi mencari makan untuk kemudian kembali dan meratap lagi. Ia tak tahu bahwa selama ini yang selalu ia cari justru tengah berdiam sambil bersabar di sisinya”.
“Akhirnya burung gagak putih ini tersenyum, Tuhan tak sejahat itu rupanya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian purnama dalam tangisnya, ia akhirnya kembali berani menatap bulu-bulunya yang putih, meski aneh pada awalnya tentu saja. Kini ia kembali berani menatap langit, karena ia tahu, ia kini selalu menemukan tempat untuk bisa pulang”.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARECROW
Short StoryIa tak ubahnya tubuh yang dijejali bertumpuk-tumpuk jerami kering untuk kemudian dikenakan pakaian bekas dan di tancapkan begitu saja di tengah-tengah pematang sawah. Menghardik dalam diamnya untuk mengusir dan menakuti kawanan burung-burung lapar y...