Bukan Seperti yang Aku Inginkan

31 3 4
                                    

Seperti bulir embun yang menetes di ujung dedaunan.
Hilang meninggalkan sejuta perasaan.
Terlambat, air sudah jatuh tercecer.
Berdebum di atas tanah kering.
Tinggallah daun yang heran dengan bekas basah air.

*******

Aku berjalan sendiri melewati koridor kelas, berharap hari ini bisa menghirup udara dengan tenang. Namun kurasa tidak, ketenangan itu hanyalah tinggal harap bagiku.

“Berhenti mengikuti ku Hana,” aku menghentikan langkahku saat menyadari ada seseorang yang mengikuti ku secara diam-diam.

Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa orang yang mengikuti ku.  Terdengar derap kaki mendekat ke arahku. Menghela nafas panjang, lantas aku berbalik.

“Apa lagi?” nada dingin meluncur begitu mudahnya dari bibirku.

Namun bukannya gentar atau takut, objek sasaran ku justru tersenyum. Senyum yang mungkin cukup manis bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku, ingat itu.

“Emm..., Kau baru saja bermain bola bukan? Kurasa Kau butuh sesuatu untuk mengganti cairan tubuhmu yang berkurang. Aku bawakan minuman untukmu, ambilah,” adalah Hana, seseorang yang terus menerus mengejar dan mengusik hidupku.

Setahuku, namanya mempunyai arti ‘bunga’ dalam bahasa Jepang. Indah bukan? Tapi nama itu terlalu indah untuk dirinya. Panggil saja dia ‘Si Penguntit’.

Dia mengulurkan sebotol air mineral, lagi-lagi dengan senyum yang memperlihatkan lesung pipit di pipi sebelah kirinya.

“Bawa kembali. Aku tak butuh,” ucapku ketus dan segera berbalik. Meneruskan langkah yang sempat tertunda. Baru beberapa langkah kakiku berjalan, sebuah suara kembali menginterupsi.

“Arkam! Akan Ku pastikan Kau menerimanya. Tidak harus sekarang memang, tapi Aku pasti memenangkannya. Aku tidak akan menyerah!” aku terus melanjutkan langkah, tak peduli dia berkata apa. Karena bagiku itu sangat membuang waktuku.

“Arkam!” Revan melempar sebotol air mineral ke arahku, bahkan saat aku baru saja masuk kelas. Reflek aku menangkapnya.

“Dari Hana,” lanjutnya.
Mendengar nama itu, kembali  membuatku mengeluh bosan. Kulempar kembali botol itu ke arah teman sebangkuku itu, Revan. Dengan sigap Revan menangkapnya.

“Kalau Kau mau ambil saja,” Aku duduk di tempatku, menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran. Bagiku belajar adalah kewajiban dan belajar itu nomor satu, bukankah kalian setuju akan hal itu?

Revan duduk disebelah ku, meletakkan air mineral ke atas meja. Lantas mengambil ponsel untuk melanjutkan gamenya, kurasa. Dia adalah pecinta game, bagi Revan game adalah hidupnya. Sungguh berlebihan, tapi begitulah Revan.

“Aku akui kau sangat jenius dalam pelajaran Kam, tapi dalam hal tertentu Kau bisa sangat bodoh. Hey Bung, Hana itu cantik, baik, banyak orang yang mengharapkannya. Namun secara terang-terangan dia menyukaimu yang bahkan terus mengabaikannya. Jangan menyesal jika suatu saat dia merasa lelah dan berhenti mengejar mu. Aish... bodoh banget, kenapa bisa mati coba?” Aku hanya mengedikan bahu tak peduli ocehan Revan, sama tak pedulinya dengan gerutuan Revan karena kalah dalam permainan.

Aku ingin sebuah ketenangan, itu saja. Tapi kurasa aku belum benar-benar mendapatkannya. Si Penguntit itu, maksudku Hanna dia seakan tak mempunyai rasa lelah untuk menarik perhatianku. Sikapnya benar-benar membuatku jengah, dia masih saja terus mengikutiku, memperhatikanku, terus menitipkan salam lewat teman kelasku. Lantas mengatakan hal konyol kepada teman-temannya bahwa dia sangat menyukaiku. Ayolah, itu terlalu berlebihan. Tak bisakah dia hanya diam dan membiarkanku tenang? Memangnya kau pikir mudah untuk menghadapi ledekan teman? Memangnya mudah terus-menerus menjadi pusat perhatian banyak orang?

Bukan Seperti yang Aku InginkanWhere stories live. Discover now