Pendatang Baru

21 2 0
                                    

Ajruna POV

Saat pertama kali kubuka mataku yang terlihat adalah birunya langit, kemudian sakit di kepalaku menyergap tanpa ampun. Dan ketika sakit kepalaku mereda, ketakutan menyergap perasaanku. 

Mataku menjelajah sekeliling tempat ini, tempat yang asing bagiku. Telaga yang tenang namun auranya terlihat angker, dan aku merasa ada perpuluh-puluh pasang mata menatapku beringas siap memangsa. Anehnya meski aku berusaha sekuat apapun hasilnya sama, aku tak ingat siapa diriku, nama, asal, dan segala kenangan lenyap, menambah ketakutan dalam diriku.

Sudah dua hari aku tak bergerak dari posisiku, hanya duduk melamun. Anehnya aku tak merasa lapar ataupun haus. Dan mata-mata yang menatapku mulai berkurang, dan dari sekian mata yang menyeramkan sekelebat kulihat sepasang mata indah yang menatapku penuh keraguan.

Ini malam keempat, aku termenung di pinggir telaga. Bulan purnama menerangi telaga yang tenang. Aku merasa ada seseorang yang menghampiriku. jantungku berdetak kencang, perasaan takut dan penasaran berbaur dalam hatiku.

"Hai, masih sedih?" tanya seseorang, aku menoleh dan terpana. Seorang gadis cantik tersenyum padaku dan kini duduk di sampingku. Buru-buru aku mengangguk.

"Boleh aku nanya, mungpung kamu masih baru?" aku mengangguk kembali.

"Apa aku cantik?" Aku memutar badanku mengahadap padanya, kunaikan alisku karena pertanyaannya sangat aneh, menurutku. Ku lihat matanya membelalak, sungguh cahaya bulan membuat wajahnya bersinar, cantik sekali. Dan menurutku ia adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat, mungkin karena nggak ada memoriku yang merekam kenangan tentang kecantikan di masa lalu.

"Apa aku tidak cantik?" Dia bertanya lagi.

"Kamu cantik, kenapa? Belum ada yang bilang kalau kamu ini cantik?" Jawabku. dan kulihat matanya berpendar indah, cekungan di pipinya semakin dalam, karena senyumnya yang semakin merekah.

"semua yang pernah melihatku, bilang aku cantik, tapi aku tak suka dibilang begitu oleh mereka."

"Kalau tak suka, terus kenapa tanya padaku?" Aku menatapnya lekat, sungguh aku sangat senang berbicara dengannya, bukan hanya saja karena kecantikannya, tapi aku sudah lelah dengan keberdiamanku.

"Karena aku suka, bila kamu yang bilang, tapi serius menurutmu aku cantik?" Jawabannya membuatku terperangah. Sepolos itukah dia.

"Iya, kamu benar-benar cantik, malah perempuan tercantik yang pernah kulihat." Aku mencoba jujur, walau terdengar gombal. Kulihat semburat merah di pipinya.

"Siapa namamu?" Tanyaku.

"Aku lupa nama asliku, di sini semua memanggilku Jelita, kamu siapa?" Aku tersenyum, nama yang pas batinku.

"Senyum yang indah, bisakah kamu selalu tersenyum bila bicara denganku?" Lagi-lagi kepolosannya membuatku terpana, namun kebingungan melandaku, siapa aku? Aku lupa namaku.

"Namaku Arjuna," kusebut nama sembarangan.

"Aku suka namamu," tatapannya beralih ke dadaku sepertinya ia melihat sesuatu, aku coba mengikuti pandangannya. Tapi aku tak menemukan apa-apa.

"Jelita, kau orang pertama yang berani ngobrol denganku."

"Iya, aku tahu, karena aku bilang kepada seluruh penghuni di sini, kalau aku suka padamu, jadi mereka tidak akan mengusikmu tanpa izinku." Jujur aku sangat tersanjung, gadis cantik ini begitu polos, meski dandanannya terlalu dewasa, ia sangat memesona bila dilihat sedekat ini.

"Terima kasih Jelita," Ia mengangguk, namun sebelum aku melanjutkan kata-kataku. Ada rasa sakit tak terperi di dadaku. Aku menjerit sekuat tenaga. Jelita memelukku dengan erat, aroma melati memenuhi rongga dadaku membuat rasa sakit itu mereda.

Aku duduk dengan posisi bersandar di bahu Jelita. Tangannya membelai rambutku penuh kasih sayang. Aku yakin ia jatuh cinta padaku. Saat amnesia masih mampu mengingat perasaan ini.

"Pisau yang digunakan menusukmu mungkin pisau special, ada huruf 2W yang digaris tengahnya." Aku terkejut, mendengarnya, sekelebat bayangan pisau lipat berwarna merah muncul di benakku.

"Apakah ujungnya berwarna merah?"

"Pisau lipat, kecil, aku tidak memperhatikan ujungnya." kelebat wajah seseorang yang sepertinya pernah kulihat muncul kembali dalam benakku. Anehnya aku merasa sangat sedih.

"Kamu yakin, itu pisau lipat?" tanyaku, dan ia mengangguk. Aku rasa aku sudah mati dibunuh seseorang dan di sini jiwaku terdampar. Di pinggir telaga yang terlihat angker. Lebih mengenaskan jiwa yang terdampar ini amnesia. Bagaimana aku akan membalas dendam pada pembunuhku? Nama sendiri saja aku lupa?

Aku berteriak histeris, dan menangis sejadi-jadinya, tak peduli di hadapanku seorang gadis, aku yakin diapun arwah penasaran sepertiku. Ketakutan, kemarahan, kekesalan, bergulung dengan dendam pada seseorang yang telah tega membunuhku. Tapi siapa dia, aku tak tahu.***

*******************************************************************

Maaf yach slow update ceritanya, semoga suka pada karya perdanaku ini, tunggu kelanjutannya.. :D






JELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang