Edrea menatap langit gelap yang dihiasi ratusan lampion, ia tertegun.
"Terimakasih Azura."Azura tertawa kecil. "Sama-sama aku bisa melakukan lebih dari ini jika kamu memintanya," ucapnya.
Edrea tidak bisa berkata apa-apa ia pun hanya mengangguk. Pukul 22.00 hari mulai larut Azura dan Edrea memutuskan pulang.
"Berapa kali sudah ku katakan jangan pulang selarut ini Rea."
"Maaf, tapi tadi aku keluar bersama Azura untuk melihat festival lampion saja, dan itu di mulai pukul sembilan."
Neter tidak menjawab. "Dengar jangan pernah melakukan hal ini lagi Rea aku tidak akan mentoleransi kesalahan yang sama," Neter beranjak masuk ke dalam kamarnya.
Edrea menghembuskan nafas kasar. "Kenapa dia begitu posesif akhir-akhir ini."
Setelah beberapa hari ini hubungan Edrea dan Neter semakin tidak terkendali. Mereka lebih sering bertengkar, bahkan untuk hal yang sepele.
Edrea meremas jemarinya. Dia menatap langit gelap, ingin sekali dia menangis. Dia lelah dengan semua pertengkaran ini. Cukup! Tapi Edrea tidak bisa menghentikanya.
Ia menutup kelopak matanya. Berfikir sejenak, apakah ini kesalahannya? Atau siapa yang bertanggung jawab atas semua keadaan yang ia alami sekarang.
"Makan malam sudah siap, turunlah," ucap Neter. Edrea hanya mengangguk kecil. Sudah seharian ia mengurung diri di kamar. Ia memutuskan tidak mengikuti egonya, ia pun turun.
Neter sudah menyendok nasi di meja makan. Neter mengambil posisi bersebrangan dengan Neter. Ruangan lenggang, hanya suara sendok yang terdengar.
"Aku ingin mengatakan sesuatu." Edrea memecahkan keheningan. Neter menatap Edrea.
"Aku mulai terganggu dengan kejadian yang ku alami akhir-akhir ini. Aku bisa melihat hal-hal yang belum terjadi-" kalimat Edrea terpotong. Neter mengangkat tangannya itu tandanya Edrea dilarang melanjutkan kalimatnya.
"Sudah ku katakan itu kebetulan." Neter mengatakannya dengan tegas.
"Katakan padaku kebetulan apa yang selalu terjadi berulang-ulang dan selalu tepat?"
Neter terdiam. "Rea jangan membahas ini!"
"Aku ingin membahasnya! Aku curiga ada yang di sembunyikan disini."
"Apa maksudmu?"
"Kau menyembunyikan sesuatu dariku bukan?" Neter terdiam. Ia beranjak berdiri dari tempat duduknya.
"Kau tahu ayahku dimana bukan?" Ucap Edrea. Kalimat pertanyaan itu membuat kepala Neter mendidih ia menarik tangan Edrea.
"Berapa kali ku katakan aku tidak tahu dimana ayahmu! Dia pergi! Dia meninggalkan tanggung jawab! Kau dengar!" Mata Neter menatap tajam Edrea. Tangannya masih mencengkram erat lengan puttinya, Edrea mulai kesakitan tak biasanya Neter sekasar ini.
"Ayahmu sudah MATI! DIA PERGI! RAGA DAN JIWANYA SUDAH MENINGGALKAN KITA!" Teriakan Neter berhasil membuat air mata Edrea menetes. Neter melepas genggamannya.
Hening. Neter menatap sayu Edrea yang sudah terjatuh dengan air mata yang berlinang. Neter baru menyadari beberapa menit yang lalu dia berubah menjadi monster yang menyakiti putrinya.
Neter menutup wajahnya dengan telapak tangan, tubuhnya perlahan seperti melemas. Ia tidak menyangka akan melakukan ini pada Edrea. Sekarang Neter ikut duduk, wajah Edrea masih tegang. Matanya menatap lantai sambil memegang lengannya.
"Rea mana yang sakit," tanya Neter. Edrea langsung menepis tangannya yang hendak memegang lengan Edrea.
"Jangan mendekatiku," ucap Edrea dengan tatapan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimensi
FantasySudah terlambat untuk menyesal. Edrea menangis denga penuh penyesalan. Andai waktu bisa diputar, andai ia bisa memeluk ibunya. Semua sia-sia, saat ia pulang ia melihat rumahnya sunyi Andai ia tahu bahwa malam itu, malam terakhir ia mendengar suara...