35. Ezard Wattson

1.3K 118 16
                                    


⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒


Sebelum jatuh tertidur, pikiranku yang tadi berlari membayangkan hari-hari indah bersama Naima, kini kembali memikirkan masa depan.

Ya.

Walau semua orang selalu mengatakan bahwa kita tidak boleh hidup di dua masa; masa lalu dan masa depan. Tapi sekarang masa depan sedang mencoba menarik perhatianku. Lebih banyak dari yang seharusnya. Menjadi kesalahan karena aku membiarkannya menguasai pikiranku saat ini.

Aku berada di dalam ruangan ini, ruangan yang sama bersama istriku yang sudah tertidur puluhan menit yang lalu.

Entah bagaimana alam juga disetting sesuai dengan suasana hatiku yang gelisah ini. Rumah ini terasa begitu lengang, hampa, sepi, sunyi dan senyap. Seakan-akan waktu telah membawa jiwaku ke tempat yang berbeda. Tempat dimana aku tidak bisa menemukan harapan, kehidupan dan yang paling penting adalah senyum Naima. Senyum wanita tulus yang saat ini tengah tertidur dengan tangannya yang dijadikan tumpuan.

Selama ini, aku dekat dengan segala sesuatu yang biasanya tidak akrab denganku. Membicarakan hal-hal tidak menarik yang biasanya berguna untuk membuat senyum Naima terukir indah. Aku bisa berpura-pura—setidaknya ini bagian dari perjuanganku agar wanita itu merasa nyaman untuk selalu berada di sampingku. Karena jujur, aku mulai terbiasa dan tidak ingin kehilangannya.

Untuk mencintainya?

Mungkin kali ini bisa kupikirkan. Sebab hatiku terasa hampa ketika jauh-jauh darinya.

Sembilan bulan lebih bersamanya membuatku mulai membayangkan masa depan; sesuatu yang seharusnya tak kulakukan. Aku ingin hari-hari baik selalu terjadi untukku dan dirinya. Aku ingin ia melahirkan anak-anakku. Aku ingin menjadi ayah yang akan mengantar putri kecilnya ke sekolah. Aku ingin menjadi suami yang lebih baik di masa depan. Aku ingin menggandengnya ke pesta-pesta besar dan memperkenalkannya sebagai istriku.

Aku ketakutan.

Selalu ketakutan.

Karena aku mulai mengimpikan masa depan bersamanya; aku tidak bisa membayangkan masa depanku tanpa ada ia di dalamnya.

Karena aku mulai mengharapkan ia agar tidak berlari untuk meninggalkanku sendirian.

Karena aku mulai mempercayainya; menyerahkan kebahagiaan dan menggantung harapanku padanya.

Karena aku mulai terbiasa dan sangat gamang jika tidak ada ia di sisiku.

Karena aku mulai membuka hatiku dan mau belajar untuk mencintainya.

Jujur saja, aku sangat takut. Takut jika ia membutaku kecewa. Lalu kemudian kekecewaan itu akan menjelma rasa sakit yang akan membuatku membencinya.

Aku tidak bisa membayangkan hal seperti itu lagi. Aku tidak ingin kebahagiaan di hatiku untuknya berubah menjadi rasa sakit. Aku ingin mengenangnya sebagai orang baik, aku ingin mengingatnya sebagai orang penting dalam hidupku.

Mencintai wanita yang mencintaiku.

Bukan pilihan buruk. Meski kemungkinan untuk tersakiti selalu ada. Tapi kali ini aku akan mencoba mengambil resiko. Membiarkan jiwaku bebas. Membiarkannya bernafas.

Aku ingin menjadi lelaki itu. Lelaki beruntung yang dicintai Naima. Dan mengabaikan seluruh teori-teori lama tentang cinta yang berakhir sekarat; mati dan berkarat di bagian terdalam jiwa manusia.

Aku akan mengambil resiko, sekalipun hatiku ketakutan. Aku akan melangkah mendekatinya, sekalipun jantungku berdebar kencang.

Maka malam itu, aku membiarkan tanganku melingkari pinggang Naima. Mencium dahinya sekali sebelum berakhir di bibirnya dan tertidur dengan senyuman yang tak ingin pudar. Berharap keesokan paginya Naima menemuiku dalam raut wajah begini.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang