16. Fajar
Happy Reading
🌸🌸Zahril (Dear Imamku) 🌸🌸
Suasana kantin siang ini ramai. Aku yang awalnya mengajak Kak Zahril dan Fajar untuk makan bersama di kantin sedikit menyesal mengapa tidak memilih temanpan makan diluar saja. Lihatlah, semua pengunjung kantin mencuri pandang ke meja kami.
Aku menghembuskan nafas lelah. Padahal baru saja kami tiba di kantin tapi kami telah menjadi pusat perhatian.
"Mau pesan apa?"
"Kamu mau makan apa?"
Ini lagi. Aku menatap bergantian Kak Zahril dan Fajar, sebelum menatap Kak Zahril yang sedari tadi sudah mengacungkan bendera perang ke Fajar. "Kalau kakak mau makan apa?" Tanyaku.
Dia mengalihkan tatapan ke arahku. "Disini ada apa saja?" Dia bertanya dengan lembut.
"Umm.. Ada Bakso, Mie ay-"
"Menu makanan di depan lo kali. Tinggal baca aja." Celetuk Fajar memotong perkataan ku. Ia menatap malas Kak Zahril yang menatap dingin padanya.
Aku mengatupkan mulutku saat mereka bertatap-tatapan dingin. Kak Zahril mendengus memalingkan wajahnya tapi tangannya bergerak mengambil list menu makanan yang berada di depannya.
Aku mencuri tatap ke Fajar yang tersenyum kemenangan. Aku berdehem melototinya saat dia memandangku, mengancamnya agar tidak berbuat aneh-aneh. Punya sahabat kek gini amat.
"Aku makan nasi aja," Kak Zahril meletakkan kembali list menu itu, "Mau makan apa, sayang?"
Aku berusaha menahan senyum konyol ku saat Kak Zahril kembali membaca list manu. "Umm... Aku akan memilihkan mu. Aku tahu makanan apa yang cocok untuk mu." Ujarnya.
"Dia suka mie ayam," kembali suara Fajar terdengar, "Dengan teh manis yang masih hangat. Istri lo suka itu. Oh dengan sepiring batagor juga!" Dia menjentikkan jarinya, kemudian seakan tersadar, "Lah kok gue merasa jadi suami lo, ya?" Katanya menatapku dan dengan sengaja mengedipkan sebelah matanya.
Astaga... Jangan mulai sekarang Fajar!
"Dia istri gue. Jadi gue lebih tahu apa yang baik untuknya. Jangan sok tahu lo."
Aku tidak bisa menahan tawaku saat Kak Zahril menatap Fajar dengan tidak suka, "Bukan urusan lo juga." Dia kemudian mendengus. "Nasi goreng telur ceplok kecap manis saja, sayang? Kelihatannya enak."
"Memang enak. Makanan kesukaan gue itu loh." Kembali Fajar membuka suara.
Aku curiga Fajar sengaja membuat Kak Zahril kesal. Tapi sepertinya cowok itu berhasil karena sekarang Kak Zahril sudah berpindah duduk di sampingku dan menggenggam erat tanganku. "Nggak ada yang nanya juga." Ujarnya dingin.
"Sayang, kamu suka ini kan?" Katanya sambil menunjuk menu nasi goreng telur ceplok kecap manis.
Aku mengangguk.
"Ayo kita pesan ini." Kak Zahril tersenyum kepadaku. "Minumnya?"
"Teh hangat aja."
Dia mengangguk. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali." Kak Zahril beranjak berdiri.
"Sekalian pesanin gue juga. Nasi goreng telur ceplok kecap manis." Fajar tersenyum manis ke arah Kak Zahril.
"Pesan sendiri." Kata Kak Zahril datar sebelum melangkah menjauh.
Aku menatapnya hangat, "Astaga... Kenapa dia sangat menggemaskan." aku tertawa kemudian menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Dia cemburu. Berhentilah membuatnya kesal Fajar."
Fajar memutar kedua matanya. "dia tidak bisa memindahkan tatapan dari lo."
Aku mengedipkan bahu. "Aku beruntung memilikinya."
Fajar menggeleng, "Gue rasa, dia yang beruntung miliki lo."
"Tidak. Kamu tidak tahu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika saja dia meninggalkanku."
Fajar terkekeh. "Dia bukan satu-satunya pria."
"Tapi dia satu-satunya yang aku cintai."
"Terserah deh." Fajar memutar bola matanya. "Dah lah.. Gue mau cabut. Kelas gue mau mulai. Lo nggak ada kelas lagi?" Tanya ya.
"Nggak."
"Gue pergi."
Aku melambai kan tangan saat dia melangkah pergi meninggalkan kentin. Tidak lama Fajar pergi, Kak Zahril kembali dengan membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis.
"Oh teman kamu ke mana?" Tanya.
"Dia sudah pergi. Ada kelas katanya."
Kak Zahril meletakkan piring dan teh di depan ku. "Makan. Biar kamu gemukan sedikit."
Aku langsung menatapnya. "Ini juga udah berusaha untuk gendut. Makan banyak tapi badan kek gini-gini aja."
Kak Zahril malah tertawa. "Udah, Ayo makan. Sehabis ini kita ke bandara, ya."
***
Dalam perjalanan mengantar Kak Zahril ke bandara, aku tidak pernah melepas tangannya. Tangan kami saling menggenggam.
"Ya pisah lagi. Padahal Kak Zahril baru sehari aja di sini."
Dia melirikku sebentar sebelum kembali fokus ke jalan di depannya. "Nggak apa-apa, sayang."
Aku cemberut. "Belum pisah aja rasanya udah kangen."
Dia meremas tanganku, "Ya udah. Ikut aku ke jakarta aja."
Aku mencubit tangannya. Aku mau ke Jakarta tapi mau bagaimana lagi, aku harus kuliah di sini. "Nggak bisa, Kak."
"Ya udah. Sabar aja. Nanti juga akan ketemu lagi." Sahutnya.
"Lama." Rengekku. "Kak Zahril bulan depan ke sini lagi, kan?"
Dia mengangguk. " InsyaAllah. Aku sedang mengajukan judul skripsi. Doakan agar semester ini bisa selesai supaya aku bisa menghabiskan waktu untukmu."
Aku menatapnya berbinar. "Oh kak Zahril mulai nyusun skripsi?"
Dia mengangguk. "Doakan agar Allah memudahkan urusan ku."
Aku mengangguk. Membayangkan Kak Zahril selesai dengan kuliah nya membuatku senang bukan main.
Kami sampai di bandara dan Kak Zahril langsung memarkirkan mobilnya. "Kamu nggak usah nungguin aku, ya? Aku akan langsung masuk saja." Dia mencium dahiku kemudian dia keluar mobil.
"Buru-buru amat, kak." Ujarku saat aku menghampirinya yang sedang mengambil tas ranselnya.
Dia hanya tersenyum. "Aku pergi, sayang." aku meraih tangannya dan mengecupnya. "Baik-baik kamu di sini. Jangan lagi melakukan hal yang buat aku terbang ke sini lagi."
Dia meraih tubuhku untuk direngkuhnya. "Rasanya berat meninggalmu di sini sendiri."
"Kak Zahril tenang aja aku bisa jaga diri sendiri kok." kataku di dadanya.
Dia mengecup puncak kepalaku sebelum melerai pelukannya. "Aku pergi."
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, Kak."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imam Ku (ZAHRIL) | (Ending)
RomansaBELUM REVISI!!! Di ujung dermaga, sepasang kekasih halal berdiri menikmati senja yang perlahan menghilang. Tangan saling terjalin dengan cincin emas melingkar di jari manis masing-masing. Masih teringat jelas diingatan suara lantang dari sang pria...