Selanjutnya

42 11 3
                                    


Di bangku taman, tampaklah Ran dan Jona sedang duduk sambil mengamati Gracia. Sejak pertemuan tidak disengaja di pasar malam dua hari yang lalu, Ran memutuskan untuk berkenalan dengan pria beranak satu itu dan mencoba berteman. Meski rasanya sedikit canggung mengingat lamaran tiba-tiba yang dilontarkan Jona di rumahnya beberapa hari sebelumnya. Sore ini,tiba-tiba Ran mendapat panggilan dari Gracia untuk menemaninya bermain di taman.

"Kak Ran! Ini aku Gracia yang kemaren menghibur kakak. Hehe makasih ya kak udah bagi nomernya"

"Halo Gracia. Iyaa, sama-sama."

"Kakak mau gak nemenin Gracia main di taman? Hari ini papa sibuk. Jadi Gracia gak punya teman. Boleh kan kaakk??"

"O..oke. Kakak jemput kamu ya."

Begitulah pembicaraan mereka via handphone siang tadi. Awalnya Ran ingin menolak permintaan putri dari Jona itu karena tidak tahu dimana letak kediaman mereka, namun ketika melihat kartu nama Jona yang tergeletak naas di rak buku membuat dia tidak bisa menolak permintaan Gracia.

Awalnya Ran hanya berdua dengan Gracia, namun entah direncanakan atau di luar rencana Jona datang ke taman itu bertujuan untuk menjemput Gracia. Dan berakhirlah kedua orang dewasa itu berkutat dengan pikiran masing-masing, mencoba menelaah yang sedang terjadi sembari menatap sumber kebingungan. "Bagaimana kamu bisa bersama Gracia?" Jona mengawali pembicaraan serta mengakhiri hening yang tercipta diantara mereka. Ran menoleh dan mendapati wajah Jona yang sangat serius mengawasi putrinya. Terlihat sepertu seorang malaikat penjaga yang akan menyelamatkan nyawa putrinya dalam keadaan apapun. Meski Ran tidak memiliki sedikitpun rasa padanya, namun Ran harus mengakui semua yang ada pada Jona adalah sempurna.

"Dia menelepon saya." Jawab Ran singkat dan mengalihkan pandangannya kepada Gracia yang saat ini berkenalan dengan beberapa anak seusianya dan mulai bermain bersama. "Dia bilang anda gak bisa menemani dia." Sebuah tawa kecil terdengar dari Jona dan berhasil menciptakan kebingungan di wajah Ran. "Saya bingung Gracia belajar dari siapa untuk menjadi seperti ini." Jona menghembuskan nafas pelan, dan bersiap menceritakan sesuatu yang menarik.

"Pagi tadi, Gracia meminta saya untuk sibuk di kantor dan tidak menjemputnya di sini. Namun dengan jelas menyebutkan lokasi nya, seakan-akan meminta saya untuk menjemputnya" Jona tersenyum kecil. "Saya mengerti dia sebenarnya ingin dijemput, namun dia malu diperlakukan seperti seorang anak yang tidak memiliki teman." Wajah Jona menunjukkan senyum malu sedikit. "Saya tidak habis pikir dia akan mengajak kamu untuk kesini." Mata sayu milik Jona menatap wajah indah nan bersih milik Ran. Selang beberapa detik Jona terdiam, Ran juga menatap Jona. Awalnya dia ingin meminta Jona untuk melanjutkan cerita mengenai gadis kecil itu.

Namun waktu serasa berhenti. Tatapan mereka bertemu beberapa detik dan tersadar ketika suara petir membuyarkan mereka. "A..ah, udah mau hujan. Saya pulang dulu, ya." Ran langsung beranjak tanpa menunggu jawaban dari Jona. Sedang pria yang ditinggal itu hanya menatap pundak mungil milik Ran yang perlahan menjauh.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi Gracia memandangi mereka sambil berdoa di dalam hati. Tuhan, aku gak minta banyak kok. Aku hanya minta Kak Ran menjadi mamaku. Boleh kan, Tuhan?

▫️▫️▫️

Selang infus tertancap di lengan seorang pria. Tubuhnya terkulai lemas, tampak seperti baru saja menjalani kemoterapi. Bibir pucatnya terlihat kering. Suasana kamar yang menyedihkan dan sepi. Tidak seorang pun datang menjenguknya. Segala macam pengobatan dan pergumulan dilewatinya sendiri.

Hanya seorang dokter yang menjadi kepercayaannya yang selalu keluar masuk ruangan itu. "Lo yakin gak mau bilang ke siapa-siapa tentang penyakit lo?" Tanya dokter bertubuh tinggi itu kepada si pasien yang dijawab hanya dengan sebuah gelengan. Dokter itu menghela nafasnya tidak habis pikir dengan sahabatnya itu.

Saya TerimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang