7. Sanha II

588 120 22
                                    

"Hei, kau tidak mau mampir ke rumahku?" tanya Sanha sesaat sebum ia berpisah dengan Haruto.

"Yak! Setidaknya jawab pertanyaanku, jangan hanya melambai," dengus Sanha kesal, ketika melihat punggung Haruto yang menjauh sambil mengangkat tangannya yang melambai padanya.

Ia baru saja akan duduk di salah satu kursi di depan mini market langganannya, saking hampir setiap harinya ia jajan di tempat itu saat menyadari kalau supirnya hari ini berhalangan. Jadi ia terpaksa pulang sendiri hari itu.

Tidak tahu apa yang membuatnya memutar arah, menjauhi jalan menuju rumahnya. Ia hanya ingin melakukannya. Mungkin hanya untuk mencoba jalur lain agar tidak bosan atau mungkin karena sebenarnya ia tidak ingin pulang.

Remaja tanggung itu hanya merasa kalau berada di rumah mewahnya sama sekali tidak membuatnya nyaman. Ia selalu merasa sesak apalagi jika kakek dan neneknya terus memintanya agar menjadi yang terbaik. Ia sungguh lelah. Setidaknya ia membutuhkan pengakuan. Pernyataan yang mengatakan kalau ia sudah melakukan yang terbaik. Suatu hal yang sama sekali tidak pernah diterimanya.

Karena perjalanan memutarnya, Sanha pulang lebih lama dari biasanya. Karena takut terkena omelan kakek neneknya, Sanha memasuki rumah megahnya melalui pintu belakang yang sebenarnya diperuntukkan untuk para pelayan.

Mengendap-endap dengan menempel pada dinding, menelusuri titik buta CCTV agar tidak ketahuan orang rumah.

Saat memasuki pintu dapurnya, sebuah getaran di kantong celananya yang berisikan ponselnya, menghentikan langkahnya. Sebuah notifikasi pesan dari forum TellUs muncul.

Awalnya ia hanya menganggapnya lelucon saat ia membaca pesan dari forum itu yang berbunyi, "Congratulations! We will granted your wish. Have a beautiful day!"

Masih dengan langkah hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi, Sanha kembali melanjutkan perjalanan masuk ke rumahnya seperti seorang pencuri. Hingga erangan kesakitan kembali menghentikan langkahnya.

Dengan langkah ragu dan mulai bergetar, Sanha berjalan mendekati sumber suara. Namun karena suara erangan kesakitan semakin kencang, Sanha memutuskan untuk mengambil pisau dapur. Setidaknya ia harus membawa sesuatu untuk membela diri bukan.

Ia kembali berjalan dengan keringat yang mulai membasahi tengkuknya karena gugup. Kakinya gemetar dan terasa lemas, namun masih sanggup untuk dibuat melangkah. Tangannya memegang erat pisaunya hingga rasanya kebas. Jangan tanya bagaimana keadaan jantungnya yang berdetak sangat kencang.

Setelah rasanya begitu lama, akhirnya Sanha sampai juga di pintu yang menghubungkan lorong antara dapur dan ruang keluarga. Pintu itu tidak tertutup rapat, sehingga Sanha hanya perlu melebarkannya sedikit untuk bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Berharap rintihan kesakitan itu hanya berasal dari suara TV yang ditonton keluarganya.

Tidak sesuai apa yang dibayangkannya, kejadian di dalam ruangan memang seperti menonton film horor namun secara langsung. Sanha bisa melihat sendiri, ketika salah satu keluarganya bergerak kaku ke arah yang tidak seharusnya.

Persendian ibunya bergerak ke tempat yang salah, mulai dari jemarinya yang menekuk ke arah yang berlawanan hingga menyebabkan bunyi tulang patah. Lalu lengan yang memutar ke arah yang tidak semestinya. Diikuti dengan kaki yang bergerak keatas hingga terselip ke belakang leher. Kemudian semakin menakutkan saat leher ibunya juga ikut memutar perlahan ke arah belakang hingga terpelintir.

Sanha ingat betul mata ibunya yang menyiratkan sinar ketakutan dan kesakitan di waktu bersamaan. Belum lagi darah yang mengalir di lubang air mata ibunya diikuti lubang hidung, telinga dan mulut.

Bukan hanya ibunya; kakek, nenek, dan ayahnya juga mengalami kejadian serupa. Namun kedua adiknya mengalami kejadian yang berbeda. Ia melihat tubuh mungil kedua adiknya terangkat dan melayang di tengah ruangan.

[Completed] The Doom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang