"Engh ...." Lenguhku. Aku membuka mataku perlahan, menyesuaikan cahaya lampu yang tepat sekali mengarah ke netra mataku. Tidak kusadari, aku sudah tertidur 3 jam lebih lamanya."Lanjutkan. jika benar-benar kau lelah," ucapnya dan memberiku sebuah selimut tebal beserta dengan tangan kirinya yang menaruh sebuah bungkus plastik makanan di lemari gantung.
Buru-buru aku bangkit dari tidurku, aku tidak mau berlama-lama dan berbasa-basi lagi. "Apa yang ingin kau lakukan, lalukanlah!" Sinisku dan memperbaiki baju seragamku.
Ah, ternyata baju seragam putih abu-abu ini masih menempel di tubuhku. Entah apa yang nanti orang pikirkan. Karena melihat gelagatku, Psikiater Jun dengan inisiatifnya memberikan hoodie hitam besarnya. "jika berkenan, silahkan digunakan."
Aku sedikit risih dengan Psikiater Jun segala bayang-bayang tentang istrinya dan anaknya, astaga tidak bisa kubayangkan.
"Aku belum memiliki istri, tenang saja. Jika itu yang kau pikirkan," ucapnya seolah-olah mengerti apa yang barusan terlintas dikepalaku.
"Tapi ini sudah menjadi tugasku. Kamu bukan satu-satunya pasien yang tergolong muda disini," tambahnya.
"Hem, boleh Psikiater merubah gaya bicara?" tanyaku tidak enak dengan dirinya yang menggunakan gaya bahasa Aku-Kamu.
"Baiklah," singkatnya.
•••
"Kau tinggal bersama siapa di kota ini?" kepalaku yang dari tadi menunduk, tiba-tiba mendongak ketika Psikiater Jun menanyakan tentang kehidupanku.
"Apa perlu saya memberitahumu?" Kulihat dia menutup matanya sebentar dan menggelengkan kepalanya.
"Mungkin saya lupa memperkenalkan diri," ucapnya dan berjalan kearah lemari kemudian mengambil sebuah berkas-berkas.
"Orang yang dihadapanmu ini, seorang Psikiater dengan bernama lengkap Adijun Prasmara. Bekerja dirumah sakit ini sudah 7 tahun. Setelah menyelesaikan S2 Profesi di Amerika, saya ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa ini. Menangani pasien yang berada di bangsal B1-B6, termasuk dirimu. Jika kau ingin saya yang menanganimu," ucapnya sembari membolak-balikkan berkas.
Aku melihat sekilas, memang benar. Namanya terpampang dengan jelas dr. Adijun Prasmara, Sp.Kj.
"Silahkan bercerita," ucapnya.
"Tunggu dulu! Aku orang awam, dan sama sekali tidak mengerti dengan semacam ini. Tepat desember 2019 kemarin, aku berkunjung ke Psikolog dan di diagnosis Hypophrenia, tapi Psikolog itu tidak memberikanku obat atau apapun yang bisa aku konsumsi. Psikolog itu juga menjelaskan bahwa Hypophrenia hanya kelainan mental ringan yang disebabkan karena traumaku, tapi kenapa sekarang kau malah membesarkan masalah kelainan mentalku ini?" ucapku menggebu-gebu kepada Psikiater yang dihadapanku ini.
"Boleh kau beritahu Psikolog siapa yang kau maksud?" tanyanya.
"Psikolog Zayan." Dia mengangguk dan mengambil benda pipih untuk menghubungi seseorang.
Hening beberapa menit, seseorang masuk kedalam ruangan. "Apakah orang ini yang kau maksud?" Aku langsung menanggupi ucapannya. Benar saja, walaupun aku berkonsultasi sudah cukup lama tapi masih kuingat jelas wajah Psikolog ini.
•••
"Cukup berat!" Psikiater Jun menyandarkan punggungnya di kursi. Ia cukup penat mendengarkan keluh kesahku yang selama ini kurasakan seorang diri.
Kusimpan dengan sangat rapi, bahkan tidak aku biarkan seorangpun ikut andil dalam kesakitan jiwaku. Tak luput dari diriku yang ingin mengakhiri hidup, ketika semua orang disekelilingku hinggap dan merenggut semuanya.
Aku masih ingat ketika aku duduk di bangku kelas X. Aksi Meria dan teman-temannya yang tak bisa kulupakan ketika mereka mencomohi diriku dengan sebutan 'anak haram'. Tidak sampai disitu, dia membullyku secara fisik dengan sengaja menyingkirkan kursiku ketika aku hendak duduk hingga aku terjengkang. Aku sempat di larikan ke RS terdekat karena menyangkut tulang ekorku.
Aku menceritakan semuanya kepada Psikiater Jun, termasuk diriku yang tidak bergairah untuk hidup.
Kuceritakan, aku pernah mengalami depresi yang sangat berkepanjangan. Hampir sebulan lebih lamanya aku terkulai lemas diatas tempat tidur, tidak ingin makan, tidak ingin beraktifitas seperti hari-hari biasanya. Untunglah saat itu bertepatan dengan hari libur kenaikan kelas.
Hingga jerit-jeritan setan mulai terdengar dan menarikku untuk jatuh ke lubangnya. Tidak sedikit usahaku untuk menahan diri, disaat seperti itu aku coba menghadirkan bayang-bayang seorang ayah yang selalu menyemangatiku agar kelak aku menjadi seorang dokter. Ku coba mensugesti diriku, tapi aku tetap kalah.
Dengan sendirinya kakiku berjalan kearah meja belajar yang terletak dipojok kamarku, kulihat sebuah cutter tajam yang barusaja kubeli beberapa hari yang lalu. Tanpa menunda waktu, tanpa pikir panjang kuiriskan cutter itu ke pergelangan tangan kiriku.
Darisitulah kulihat darah segar mengalir, aku berteriak sekuat mungkin ketika darah segar itu mulai bercucuran dilantai kamarku. Untunglah ada tetangga yang datang menolong dan membantuku.
Setelah pasca kejadian itu, perlahan aku mulai mengalami suasan hati yang sering berubah drastis atau secara tiba-tiba antara dua fase yang saling berlawanan. Fase mania dan fase depresi.
Ketika diriku berada di kondisi kutub positif atau biasa disebut fase mania, aku sangat gesit bahkan sangat semangat untuk melakukan apapun itu, banyak bicara, hingga aku tak merasa butuh tidur. Tapi, ketika diriku memasuki fase depresi aku sering sedih dan berlarut-larut dalam kesedihanku, tidak sabaran, hingga muncul keinginan untuk bunuh diri.
Semua itu ku lewati seorang diri, tidak terkira betapa sulitnya diriku.
"Bisa kau ceritakan masa kecilmu? saya ingin mendengar cerita bahagiamu," ucap psikiater Jun.
Apa aku harus menceritakannya? Ada sesuatu dibalik itu yang tidak boleh diketahui seseorang.
Disampingku ada seorang Psikolog, yang ku yakin ketika aku berbohong, dia akan mengetahuinya. Mulut bisa berbohong, tapi bagaimana dengan mata?
Psikolog itu, bukan sembarangan. Dia mengetahui gelagatku. Terbukti dari tadi dia memperhatikanku dengan rinci, sesekali dia menulis dikertas putih itu. Entah apa yang dia tulis.
Bagaimana ini?
•••
Salam hangat,
Azashaqila❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Maretta's Mental Disorder
Ficção Geral"Maaf, kau tidak bisa sembuh secara total. Kelainan mentalmu ini, bukan kelainan mental ringan. Ini berat," ucap Psikiater Jun dan memijit pelipisnya. "Apa saya tidak bisa disembuhkan?" tanyaku sekali lagi. "Bipolar tidak bisa sembuh total, hanya bi...