33. Depressed

139 34 0
                                    

Manusia memang diciptakan ga sempurna. Kesalahan juga semua milik manusia. Sesungguhnya manusia itu zalim dan bodoh. Manusia memang banyak kekurangan.

Hana sadar posisinya.

Dia cuma sekedar dokter bedah saraf yang diberi kesempatan untuk banyak bertemu pasien yang baik. Mereka menyambut Hana positif dan membuat Hana nyaman akan posisi itu.

Tapi dirinya lalai. Dia belum pernah siap menjawab tantangan yang mempertemukannya dengan pasien yang bisa dibilang berbeda dari yang lain. Dari yang sebelum-sebelumnya.

Hana harusnya sadar. Dia bodoh. Apalah soal prinsipnya yang menyiapkan mental sejak dulu. Hana masih saja punya jiwa yang belum sepenuhnya kuat dan mandiri.

Sampai air matanya tumpah pun, Hana masih merutuki kebodohan dirinya sendiri. Menyesal.

Kenapa dia bisa lengah, membuat orang lain celaka.

Bukan, ini bukan soal pasiennya yang marah-marah itu. Ini soal Jeno, soal reputasi rumah sakit. Perbuatannya mengancam wajah rumah sakit di mata orang luas.

Wajah Jeno yang stres terus menerus berputar di kepalanya. Bahkan Jeno juga udah ngasih surat pengunduran diri ke Prof Kevin, Kepala Bagian bedah saraf. Tinggal menunggu keputusan Prof Kevin, apakah beliau menerima surat itu atau tidak.

Kalau kasus ini cuma buat dia seorang, Hana sih baik-baik saja. Kalau memang itu jalan takdirnya dan memang dia terbukti salah, Hana bisa hadapi dengan lapang dada.

Tapi masalahnya, dia mengancam mimpi seorang anak laki-laki yang dengan jerih payahnya sendiri membangun mimpi jadi seorang dokter.

Perasaan Hana makin ga nyaman saat inget cerita Jeno yang diasingkan keluarganya, yang mayoritas berkarir jadi pengusaha.

"Huft." Keluh Hana masih dalam tangis isaknya.

"Han, udah."

Seseorang meraih Hana ke dalam pelukannya. Semakin lama Hana nangis, semakin sakit juga perasaannya. Dia ga tega liat Hana tertekan begini.

Udah hampir sebulan ini Hana keliatan menahan sendiri kecemasannya, kekhawatirannya. Sekalipun ditanya orang-orang terdekat, dia bilangnya gapapa.

Tapi begitu dia mendapati Hana sendirian, wanita itu nangis menyesali perbuatannya sendiri. Membodoh-bodohkan diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri. 

"Gue tau hidup kadang bener-bener sulit." Ujar pria itu menenangkan.

Ditepuknya punggung Hana yang masih meringkuk dalam pelukannya.

"Tapi ga ada yang lebih sulit dibanding lihat temen gue sendiri susah. Makanya lo jangan nangis, sekarang waktunya lo keliatan berani."

Pria itu meraih wajah Hana.

Oh God. Bahkan mata yang biasanya memancarkan semangat itu sekarang sembab memerah. Dan sedikit bengkak.

Wajar sih, ini udah hampir sejam Hana nangis ga selesai selesai. Sampai harus menyerahkan pasien rawat jalannya ke dokter Chaeyeon.

"People will always throw stones in your path. Then it depends how you make it out. Lo bisa pilih mau jadikan dia dinding atau jembatan." Tukas pria itu sambil memandang lurus ke arah netra Hana.

"Gue tau lo ga salah. Lo harus pede."

Pria itu mengusap pipi Hana yang basah menggunakan punggung tangannya.

Dia gamau Hana keliatan nyerah begitu aja sama apa yang sudah dia perjuangkan.

Dua jam lagi, sidang terakhir akan berlangsung. Sidang ini pula yang menentukan keputusan hakim atas kasus ini.

"Sekarang samperin kuasa hukum lo, kasih tau kalo lo siap ngadepin orang-orang serakah itu untuk terakhir kalinya. Dah, sana."

***

"Jeno." Panggil Hyunjin pelan.

Dia ga enak mau ganggu Jeno.

Udah hampir sebulan ini Jeno beneran kaya orang depresi. Tatapannya kosong, ngomong dikit, ga nafsu makan.

Meskipun begitu, Jeno masih bisa keliatan fit di depan para pasien seolah ga terjadi apa-apa. Bahkan senyum pun mampu.

Tapi setelah balik ke ruang istirahat mereka, Jeno langsung berubah jadi lesu lagi.

"Jen. Lo makan dulu lah. Lo ga laper apa dari kemaren ga makan. Mana lo mondar mandir ngecek pasien. Gue sama Heejin udah pesen nasi campur."

Sekarang sudah jam tiga sore. Makan siang mereka telat banget. Inipun curi-curi kesempatan mumpung lagi ga banyak tindakan buat pasien.

Si Heejin udah rewel minta makan, kelaparan. Ditambah ini si Jeno. Ribet banget diajak makan kek anak kecil, susahnya minta ampun.

Jeno masih diam. Dia cuma ngeliatin monitor yang menampilkan jurnal-jurnal penelitian dari profesornya. Setidaknya kalo dia ga bisa nerusin jadi dokter, dia mau coba jadi dosen.

Hyunjin menghela nafasnya.

"Jen. Gue bawa kesini deh makanannya. Tapi lo harus makan."

"Ga usah, Njin. Gue ga nafsu."

"Gabisa. Lo harus makan. Gue bisa kena marah dokter Hana kalo tau lo mogok makan. Sekalipun lo sedih, jangan siksa diri lo sendiri lah, Jeno."

Jeno masih diam. Dia ga ada keinginan sama sekali buat makan. Dia cuma khawatir satu hal.

Brakkk

"BROTHERS!! LIHAT!!"

Hyunjin Jeno kompak menoleh ke arah Heejin yang brutal membuka pintu ruang istirahat.

Wajah Heejin keliatan seneng banget sambil menunjukkan sesuatu di hapenya.

"Lo kenapa Jin?" Tanya Hyunjin.

"DOKTER HANA MENANG, JEN!! DOKTER HANA MENANG!! LO GA JADI KELUAR!! AAAAAAA!!!"















... to be continued

 to be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Unbelievable | HSW, CSY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang