Kehadiran Dia

2 0 0
                                    

Hari ini cuaca cerah, awan putih menghiasi langit yang berwarna biru muda. Seolah-olah menunjukkan betapa indahnya dunia ini tanpa adanya masalah, tanpa adanya hal yang perlu dikhawatirkan.

Di sudut ruangan tempat belajar sebuah asrama sekolah, ada seorang gadis yang lagi asik membaca novel teenlit kesukaannya. Tanpa dia sadari beberapa kali ada ketukan di pintu ruang tamu asrama.

Tok,, Tok,, Tok.,,

"Spadaaaa.. Any body homeee?? Helloooo,,, Pada kemana semua sih,," terdengar suara Bu Katrin menggema di lorong depan ruang tamu asrama. Ya Bu Katrin adalah salah satu pemilik asrama yang ikut tinggal disini, walopun terpisah rumah.

Dengan spontan si gadis tersebut langsung berlari menuju pintu ruang tamu untuk membukakan pintunya. Seketika dia membuka pintu, terlihat ada sosok pemuda dengan kulit putih bersih, tinggi 180cm, wajah blasteran ehmm sepertinya Indo Belanda, sedang berdiri di sebelah Bu Katrin.

"Icaaa ini,, lama banget bukain pintu,, lagian pada kemana si anak-anak yang lain? Kamu sendirian?" Bu Katrin memang terkenal dengan kebawelannya tapi dilain sisi dia adalah sosok ibu di asrama ini.

"Maaf bu, Ica gak denger. Keasikan baca novel hehe.. Yang lain pada janjian main ke mall bu"

"Oh pantesan kok sepi banget,, tumbenan sampe ruang tamunya dikunci gitu,, trs kenapa ini kamu gak ikutan yang lain ke mall? malah sukanya menyendiri gitu"

"Iya Bu lagi gak mood aja jalan-jalannya." jawabnya sambil menyunggingkan senyum.

"Ini loh ada tambahan anggota asrama,, anak pindahan dari Bandung,, Namanya Samuel anak kelas 3 SMA juga,, sama kan kayak kamu,, ayo ajakin masuk sekalian kamu ajak keliling-keliling asrama biar tau ruanganruangannya."

Ica menoleh pada sosok pemuda bernama Samuel tersebut. Ekspresinya bener-bener datar banget. Gada kata ramah-ramahnya sama sekali. Kenapa tadi aku gak ikut anak-anak ke mall aja ya Tuhan. Sial banget hari ini. Batin si Ica.

Dengan berat hati akhirnya Ica mengajak Samuel berkeliling dengan dia seolah-olah menjadi tour guidenya. Tapi seberapa banyakpun Ica ngejelasin per ruangan, jawaban dari Samuel hanyalah "Hmm." "Ya" "Oh". Bete banget kan. Mending lanjutin baca novel yang lagi seru-serunya.

Setelah lelah berkeliling, Ica ngajak Samuel buat duduk di ruangan makan. Dimana inilah tempat favorit anak asrama ketika diwaktu senggang mereka. Bikin mie instan alias indo*** atopun hanya sekedar bikin kopi sebagai sandingan disaat mereka ngobrol satu sama lain.

"Aku manggilnya Samuel, Samu, ato Muel nih? tanya Ica sambil mengambil Coca Cola didalam kulkas.

"Samu aja." 

Dua kata singkat padat. Seumur-umur baru kali ini ketemu orang muka datar ngomongnya irit banget kayak gini. Persis banget kaya di novel-novel teenlit yang dia baca, biasanya karakter utamanya modelan begini ini.

"Kenapa kamu pindah ke Malang? Bukannya di Bandung sekolahnya bagus-bagus ya. Disana kan tempatnya juga dingin kayak diMalang kan? Gak nyesel apa pindah ke Malang sini?" celoteh Ica.

Samuel hanya menatap Ica tanpa menjawab pertanyaannya. Dia meminum coca cola yang diambilkan Ica tadi dari kulkas. Sebenernya ini pertanyaan yang ingin dihindari Samuel. Karena secara tidak langsung akan menguak luka yang belum sepenuhnya kering. Luka yang tidak bisa dilihat oleh orang karena lukanya ada di hati. Tapi mau gak mau pertanyaan inilah yang akan selalu keluar dari orang ketika bertemu pertama kalinya dengan Samuel. Ica hanyalah orang pertama yang berhasil mengeluarkan pertanyaan itu.

Melihat Samuel diem aja gak menjawab pertanyaannya, Ica pun mulai lelah. Dia disini hanyalah tour guide saja, apa haknya tanya-tanya masalah pribadi orang. SKSD banget kan. Mendingan dia kembali melanjutkan baca novelnya aja diruang belajar. Ica pun berdiri dari kursi dan mulai melangkah keluar ruangan makan.

"Mau kemana lo?" suara Samuel dengan intonasi datarnya.

"Mo balik ke ruangan belajar aja, daripada ngomong sama tembok!" jawab Ica tak kalah ketus.

Terdengar suara langkah kaki buru-buru mengejar Ica. Yah itu si Samuel. Dia megang tangan si Ica agar Ica berhenti jalan. Ica pun berbalik menghadap Samuel walopun Ica harus mendongak karena perbedaan ketinggian yang sangat signifikan. Ya dia cewe normal dengan tingginya 155cm dengan BB 45kg. Ukuran tinggi segitu badannya termasuk ideal. Tidak kegemukan begitupun sebaliknya tidak kekurusan. Hanyaaa di usianya 16 tahun kelas 3 SMA dia seringkali disebut si unyil karena bentuk badannya yang mungil.

"Lo marah?" tanya Samuel

"Ngapain aku marah? gada untungnya juga. aku cuma ngerasa dianggurin aja. daritadi nyerocos sendiri, kan mending aku balik ke posisi semula sebelum kamu dateng. Lebih fungsionall!" tegas Ica.

Samuel menatap Ica. Baru kali ini ada cewek yang menolak pesonanya. Yah di SMA nya dulu dia adalah Most Wantednya cowok buat dijadiin pacar. Apapun keadaannya, ketusnya, muka datarnya malah menjadi daya tarik cewek-cewek di Bandung sana. 

Awalnya Samuel merasa Ica pasti sama dengan cewek-cewek di Bandung yang bakalan ngerayu-rayu ataupun caper alias cari perhatian Samuel. Eh ini boro-boro, dengan entengnya malah ninggalin dan masa bodoh dengannya.

Ica yang merasa ditatap oleh Samuel berusaha melepaskan tangannya yang dipegang Samuel. Dan dia berhasil. Dia melanjutkan langkahnya ke arah ruang belajar. Dia tidak peduli mau si Samuel tidur kek, makan kek, diem kek, apa kek terserah sudah. Buat apa dia peduli sama orang model begitu. Capek-capekin badan aja.

Samuel menatap kepergian Ica sambil tersenyum tipis. Tipis sekali sampai kena angin aja mudah ilang. Dia beralih menuju kamar yang akan ditempatinya. Mengistirahatkan diri sebelum temen-temen asrama kembali dari mall.



 ****


Gimana menurut kalian? mau dilanjut ceritanya? ato ada ide tambahan?

Ini tulisan pertama aku., maaf kalo ada typo ato salah kata ya..


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pilih Sahabat Atau PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang