CHAPTER 1

37 5 0
                                    

 Hari ini adalah ulang tahun adik bungsuku, Eleana. Kami merayakan dengan makan malam sederhana. Tak lupa dengan hadiah, Vallen, adik kedua, menghadiahkannya sebuah buku aneh yang usang. Aneh sekali, tapi kami sudah terbiasa dengan sikapnya. Tapi aku yakin, sifat anehnya  memiliki niat baik untuk apapun.

 "Jangan di remehkan, itu buku ajaib. Walau aku menemukannya di rongsokan" jawabnya datar. Wajah Eleana mengecut. Adik–kakak ini tak pernah akur, seperti tikus–kucing, hingga terkena masalah.

 Dan aku, Zen, menghadiahkan sebuah syal bergradasi hijau muda, itu warna favoritnya. Tak kalah, ibu memberikan kalung zamrud yang cantik. Seketika wajah Eleana berseri–seri melihat kedua hadiah itu daripada hadiah Vallen, tapi Vallen tidak masalah dengan itu. Malam itu sangat damai dan menyenangkan, hingga suara ketukan pintu.

 "Biar aku buka" ucap Vallen berjalan menuju ambang pintu. Sebuah kado yang di bungkus rapi dari seseorang untuk Eleana.

 "Uh, ibu?" panggilnya. Ibu menoleh bingung. Ia menunjukkan nama pengirimnya, "Apa ayah masih hidup?"

 "Bukannya ayah hanya kerja di luar kota? Jangan bertanya seperti itu" aku membalas.

 "Kak Vallen 'kan memang aneh. Jadi, maklumi saja" komen Eleana. Tanpa membalas omongan Eleana, Vallen meletakannya kotak kado di meja makan.

"Ini hadiah dari ayah!" Eleana langsung membuka hadiahnya. Aku terdiam. Selama ini ayah tidak pernah memberikan kami hadiah.

 Ia mendapati sebuah boneka cantik bermata biru dengan rambut hitam panjang. Ia memeluk boneka itu, "Cantik sekali! Ternyata, ayah masih ingat ulang tahunku". Eleana berlari dan membawanya ke kamar.

 "Kalau dia masih hidup, kenapa dia pilih kasih?" protes Vallen.

 "Jangan bilang seperti itu, Vall" ucapku.

 "Itu faktanya, Zen. Ulang tahun kita dua–tiga bulan yang lalu, tapi kita tidak diberi hadiah" aku tidak menjawab. Yah, tapi itu memang benar. Mungkin saja ayah menyesal karena tidak kembali dan memberikan Eleana hadiah sebagai permulaan dari permintaan maafnya. Aku melirik ibu, wajahnya jauh dari kata senang.

 "Entahlah, ibu rasa itu bukan hadiah" ucap ibu lirih.

●●●

 Sudah beberapa hari liburan sekolah berlalu, kami hanya di rumah. Eleana tidak melepaskan bonekanya dari genggamannya, seperti ada lem diantara mereka. Hingga Vallen kesal dan bertindak aneh lagi. mungkin dia iri. Kali ini Eleana turun ke dapur, tanpa bonekanya, untuk mengambil minum. Dan Vallen mengendap–endap di belakang sofa yang aku duduki, dan aku masih bisa mendengar nafasnya.

 "Sedang apa Val?" tanyaku sambil membaca novel di ruang tamu. Ia tidak menjawab. Aku membalikan badan, dan ia sudah di tangga. "Hei, kamu belum menjawab..."

 Ia langsung lari ke atas dengan panik. Entah apa yang di lakukannya. Aku kehilangan fokus tentang Vallen dan mendapati Eleana yang mencari bonekanya.

 "Mungkin ini ulah kakakmu lagi. Dia bersikap aneh tadi" Eleana hanya menghela nafas dan mencari kakaknya. Tak lama kemudian ibu berteriak.

 Aku sigap berlari ke kamar ibunya, "Ada apa, Bu?"

 Perempuan paruh baya itu terduduk di ranjang dengan keadaan syok. Wajah ibunnya memucat melihat boneka Eleana duduk dengan senyuman manis di lemarinya. Aku mengambil dan meletakan bonekanya di luar kamar sambil menenangkan ibunya. Vallen dan Eleana menyusul ke kamar ibu.

 "Vallen, apa kamu pikir ini lucu?" tanyaku.

 "Uh..." Vallen melirik ke arah lain. Lalu ia menunduk, "Jujur, aku hanya menyegel boneka itu bukan manakut–nakuti ibu. Tapi sepertinya ada kesalahan teknis. Maafkan aku"

 "Apa maksudnya? Kakak pikir itu boneka santet?" ujar Eleana.

 Aku bangkit dan mendekatinya, tapi ibunya menarik tangaku. "Sudah cukup, ibu tidak apa–apa." Ibu bangkit perlahan, "Lain kali, jangan berbuat sembarangan seperti itu, ya, Vallen"

 "Aku benar–benar minta maaf, Bu" ia menunduk, Ibu mengelus kepalanya perlahan.

MARIONET [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang