Hari itu aku ceritakan padamu tentang untaian masalaluku. Tentang aku dan dia yang dulu sempat bersama. Segan sebenarnya saat aku ceritakan itu padamu, kau hanya mempehatikan setiap kilas balik ceritaku.
Hari itu, secara tak sengaja kau memintaku untuk bercerita. Kau meyakinkanku bahwa sepenuhnya kau dapat menyimpan rahasia, matamu seolah berkata bahwa kau orang yang paling bisa kupercaya.
Kau mendengarkanku dengan seksama, membela dari tiap bagian cerita yang membuatku seolah jadi tersangka. Kau bilang, itu bukan salahku sepenuhnya. Kau bilang bahwa dia penjahat utamanya.
Aku hanya tersenyum tiap-tiap kamu membelaku dengan semangatmu. Sesekali kita akan tertawa bahwa ternyata masalah yang dulu kuanggap bencana, tidak seberbahaya yang aku kira. Masalalu yang dulu sering menghantui, kini berhasil aku lewati.
Saat itu aku ingat, tertawa dan bercerita padamu bagaikan melewati hari dimusim gugur. Meski aku bawa kau pada cerita mati, entah kenapa kau selalu bisa mengubahnya menjadi warna-warni.
Bagaikan musim gugur, yang daunnya mati namun tetap indah untuk dinikmati. Kau bilang bahwa hidup bukan tentang kesamaan, tapi juga tentang perbedaan yang membuat sebuah kebersamaan.
Kau bilang hidup bukan tentang memiliki tetapi tentang dimiliki. Jika benar, apa aku salah bila aku bersyukur memilikimu?. Apakah aku salah?, bila aku ingin dimiliki olehmu?.
Entah berawal dari mana, namun namamu sering kuucap bagai mantra. Kukirimkan pada semesta, berharap suatu hari mendapat balasan menjadi kata 'kita'.
Dengan sepenuh jiwa, aku kirimkan untaian doa. Berharap aku dan kamu suatu hari dapat utuh sepenuhnya. Berharap dua hati yang berbeda akan diikatkan bersama.
Aku yakin, bahwa ada celah untukku dihatimu. Hingga akhirnya aku melihatnya, luluh lantah hatiku dibuatnya. Sejak awal aku sadar, bahwa kau adalah orang yang lebih suka berselancar diatas arus. Sedangkan aku lebih suka berenang tenang didalam arus.
Kau lebih suka bereksplorasi mengenal teman untuk menambah pengalaman sosialisasi. Sedangkan aku lebih suka menyendiri dan diam mengamati.
Sepenuhnya aku sadar, bahwa tak berhak untukku merasa gusar. Tak berhak bagiku merasa tak enak hati, saat melihatmu tersenyum pada banyaknya hati?. Hatimu tak ada padaku, aku tahu itu. Yang tak adil adalah, kau tak tahu bahwa hatiku ada padamu.
Aku benci ketika hadirmu mulai membuatku mengharapkanmu. Aku benci ketika aku selalu menyimpan harap agar bisa berjalan disampingmu. Aku benci ketika aku sadar bahwa aku hanya sekedar teman buatmu.
Aku benci saat rindu dengan liarnya terus berkoar memanggil dirimu. Aku benci saat aku selalu berharap kau menyadari perasaanku.
Kau bukan orang yang sepatutnya aku candu sebagai rindu. Aku bahkan tak tahu hendak kearah mana layar kapalmu melaju atau pelabuhan mana yang mau kau tuju.
Aku hanya tahu bahwa bagimu hari seperti ini cukup, tanpa kata 'kita'. Aku tahu bahwa kau berkata kau belum mau bersama, dengan siapapun juga. Kau bilang, bahwa kau sudah lelah dengan cinta. Hingga akhirnya kau memilih untuk menghapus kata bersama, menghapus kata kita, denganku juga dengan yang lainnya.
Kau memilih berteman dengan siapa saja, menyingkirkan apa yang orang katakan cinta. Mendekati semua perempuan dengan garis besar sekedar teman, aku tak yakin akan itu. Yang aku yakini adalah mungkin suatu hari perasaan akan tumbuh dalam hatimu. Perasaan yang akan membuatmu goyah dalam mempertahankan tekadmu untuk sekedar berteman.
Aku hanya berharap, runtuhnya tekadmu melabuhkanmu padaku. Membuatmu menepi bukan pergi. Saat ini candu masih terus memanggil namamu, kuharap kau semakin mendekat untuk segera menenangkan aku.
-_-_-_-_-🍎-_-_-_-_- TobeContinue
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterflies
Poetryjarak memang sempat membuat kita rekat, akrab memang sempat membuat kita saling menyimpan harap. terlalu banyak canda yang akhirnya menjadi candu, memimpikanmu malah menumpuk banyaknya ribuan rindu. aku tak pandai mengutarakan rasa yang terpendam da...