5. Tak Akan Pernah 2 🌈

31 6 3
                                    

ㅎㅎㅎ
🗼 HAPPY READING 🗼
.
.
.

Langit Baskara Darendra, manusia dingin itu. Percayalah dia akan tetap dingin meski kepada teman masa kecilnya, Abel Liana.

Langit melajukan mobil porsche warna merah miliknya dan berhenti tepat di depan bangunan rumah mewah berlantai dua , tak lama kemudian ada satpam yang membukakan pintu.

“Eh den Langit, sudah pulang?” ucap satpam yang bernama Pak Usman itu.

Langit hanya menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum kecil. Huhh, irit bicara yang tak tertolong.

Pak Usman lalu menutup gerbang kembali, sudah biasa dengan sikap tuan mudanya yang irit bicara itu. Memang sudah dasar sifatnya.

Langit memarkirkan mobilnya di garasi, mematikan mesin mobilnya lalu mengambil tasnya di kursi penumpang di sebelahnya. Dia menenteng tasnya di bahu lalu berjalan menuju pintu rumah mewahnya. Belum sempat Langit memasuki rumah setelah membuka pintu. Langit dikejutkan dengan seorang anak kecil laki-laki yang memeluk kakinya.

“Abang? Abang sudah pulang, temani Abi main yuk,” ucap bocah laki-laki yang menyebutkan namanya Abi itu dengan mata berbinar.

Langit menunduk, menatap bocah kecil itu yang setara tingginya dengan pinggangnya. Termasuk tinggi untuk ukuran bocah 6 tahun. Dia menatap datar anak itu, tanpa repot-repot menjawab, Langit segera melangkahkan kakinya ke lantai dua menuju kamarnya. Tak dipedulikannya bocah laki-laki tersebut yang terpaksa melepas pelukan di kakinya dengan berkaca-kaca.

Terlihat bocah tersebut dihampiri oleh wanita yang berumur sekitar tiga puluh tujuh tahun yang sedari tadi melihat interaksi mereka dari ruang keluarga. Wanita itu mengelus sayang kepala bocah laki-laki itu.

“Sudah Abio jangan sedih, abangnya lagi capek mungkin. Abi main sama bunda saja yah.” Wanita itu mensejajarkan tubuhnya dengan sang anak, lalu beranjak berdiri sambil mengamit tangan kanan Abio. Digiringnya bocah itu menuju ruang bermain di sebelah ruang keluarga. Dia menghembuskan napasnya lelah, matanya menatap lantai atas, kapan kamu akn menerima kami nak?, batinnya.

Langit memasuki kamarnya, kamar dengan nuansa hitam putih, warna kesukaannya. Tanpa mengganti baju seragamnya, Langit mendudukkan diri di depan meja belajarnya. Mengambil buku dalam tasnya lalu mulai mengerjakan rumus matematika. Begitulah Langit, melampiaskan amarahnya dengan belajar, belajar dan belajar.

Handphone-nya berdering. Langit menghentikan sejenak menulisnya, dia beranjak lalu meraih handphone merek Iphone 11 Pro Max-nya. Terlihat dari Id Caller nama Abel. Senyum tipis mengembang dibibir Langit.

“Halo,” ucapnya.

“Halo Langit, kamu tadi cari aku? Aku gak masuk, soalnya papi tiba-tiba ngajak aku keluar kota, tapi besok aku berangkat kok. Kita ketemuan di depan gerbang yah,” ucap gadis itu, riang seperti biasanya.

“Kenapa kita gak berangkat bareng, saya bisa kok jemput ke rumah kamu.” Langit mengerutkan keningnya, mengapa Abel tidak mau dia menjemput ke rumahnya.

“Gapapa, ketemu disekolah aja, bye Langit.” Gadis itu menutup sambungan teleponnya.

Langit menatap layar handphone-nya. Kenapa dia bisa terjebak situasi ini.

Ah langit tersadar, handphone cewek dark blue itu. Langit membuka resleting tasnya, mencari handphone itu. Langit mencoba menghidupkan, tapi tidak bisa sepertinya dia harus membawa handphone itu ke tempat service.

Langit menyambar handuk digantungan dan segera memasuki kamar madi setelah melepas sepatunya, terdengar suara gemericik air beradu dengan dentingan jam di kamar cowok itu.

Langit keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambut basahnya, air dirambutnya menetes ke arah leher dan dada bidangnya. Langit hanya memakai celana trainingnya. Dia berjalan menuju walk in closet kamarnya.

Mengambil kaos hitam dan jaket, memakai sepatu kets lalu menyambar kunci mobil dan tentunya membawa handphonenya dan handphone cewek itu.

Langit berlari kecil menuruni tangga, dia berteriak sembari berjalan menuju pintu utama, “Langit pergi keluar,” ucapnya tanpa menoleh.

Walau langit belum bisa menerima tapi dia tidak boleh melupakan sopan santun kepada orang tua, walaupun sebenarnya seperti itu juga kurang sopan, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

*******

“Bisa diperbaiki mas?” tanya Langit pada mas mas tukang service. Mas-mas tersebut sedang melihat handphone yang diserahkan langit beberapa waktu lalu.

“Bisa mas, tapi biayanya mahal buat perbaikan, bisa lebih dari lima ratus ribu mas,” ucapnya dari balik etalase toko.

Langit mengangguk, membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu kreditnya. “Gapapa mas, bayar pake ini bisa kan?” ucap langit seraya menyerahkan kartu kreditnya.

“Bisa, sebentar mas,” orang tersebut melakukan transaksi pembayaran lalu menyerahkan kembali kartu tersebut kepada pemiliknya.

“Mas boleh catat nomor teleponnya disini, nanti kalau sudah jadi perbaikannya saya hubungi mas,” lanjutnya sembari menyodorkan pulpen dan buku yang terlihat memiliki nomor telepon orang lainnya juga disana.

Langit segera menulis nomor teleponnya, dia beranjak berdiri dari depan etalase toko itu lalu mengucapkan terima kasih.

“Terimakasih mas, saya pergi dulu.”

“Terima kasih juga mas, sudah service hape disini,” ucap mas-mas tersebut, beramah tamanh pada pelanggan sembari tersenyum.

To be continued....
.
.
.
.

Thanks buat yang udah baca, vote sama comment.

Author sangat sangat sangat sangat sangat berterimakasih buat yang udah baca.😘😘😘😘😘

20 Juni 2020

Queen BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang