Agustus, 2014
Seorang pemuda berseragam putih abu-abu berlarian panik menuju halte bus. Wajahnya memerah dengan peluh tertitik di sekitar dahi. Begitu sampai dia membungkuk sambil mengatur nafas yang masih tersengal.
Bus berwarna merah terang dengan ukuran sedang mulai terlihat dari kejauhan. Pemuda itu berdiri lalu menatapnya penuh minat. Dari jendela kaca dia bisa melihat bus sudah hampir penuh dengan banyaknya pelajar yang berdiri. Sebelah tangan mereka berpegangan pada tali gantungan di langit-langit bus.
Bus berhenti dengan mulus, lalu pintunya terbuka. Dia melompat masuk dan segera menyadari tak banyak tempat tersisa. Dengan sangat terpaksa dia berdiri paling dekat dengan pintu. Kondektur bus menjulurkan tangan melewati bahu si pemuda, sibuk menarik ongkos. Pemuda itu menyerahkan uang lalu kondektur menukarnya dengan selembar tiket. Kondektur mengibaskan tangan ke arah siswa yang berdiri ditengah-tengah bus, menyuruh mereka untuk mundur, memberi ruang bagi si pemuda agar bisa berdiri di tengah bus.
Terdapat sedikit ruang sehingga dia mundur beberapa langkah. Sesak sekali. Dia mengedarkan pandangan dan tatapannya berhenti pada orang yang duduk tepat di depannya.
Seorang siswi SMA dengan baju seragam yang sama dengan si pemuda duduk dengan kepala menunduk. Tangan mungil gadis itu memeluk tas ransel hitam dengan gantungan kelinci berwarna merah muda. Rambut hitamnya panjang bergelombang menutupi wajah bagaikan tirai lembut. Pemuda itu sedikit menggeser tubuh agar lutut mereka yang hampir tak berjarak tidak bersentuhan.
Bus merapat ke sisi halte sebuah SMA. Beberapa orang turun di halte itu. Si pemuda agak terdorong ke depan, hampir menyentuh lutut si gadis yang sepertinya tertidur lelap.
Pintu tertutup dan bus kembali berjalan dengan kecepatan penuh. Kondektur tadi sempat mengatakan SMA tujuannya berada di halte kedua. Matanya yang besar mengawasi luar jendela karena dia tak tahu pasti dimana sekolah barunya berada.
Dia mengerutkan dahi saat bus memelankan kecepatan. Dia hampir sampai.
Pemuda itu membetulkan letak tas punggung, siap turun. Lalu netranya teralih pada siswi yang masih menunduk dalam. Awalnya dia ingin mencoba tak peduli, namun tanpa sadar tangannya terulur meski agak ragu. Dengan pelan, pemuda itu menepuk bahu si gadis.
Gadis itu tersentak kaget lalu mengangkat wajahnya tiba-tiba membuat si pemuda ikut terkaget.
Wajah gadis itu cantik. Sangat cantik. Meski tanpa senyum dan dalam keadaan mengantuk, dia sungguh cantik. Bagaimana kalau gadis itu tersenyum?
Keduanya bertatapan selama beberapa detik sebelum gadis itu menoleh ke belakang, melihat ke luar jendela. Matanya terbelalak. Gadis segera berdiri tergesa lalu melirik pemuda itu sekilas seolah berkata "Kamu juga harus turun disini."
Pintu bus terbuka lalu gadis itu melompat turun.
Pemuda itu belum melihat keberadaan gedung sekolah tapi ikut melompat ke halte.
Dia tersenyum tipis saat melihat gadis itu berlari kencang ke ujung jalan, menuju gerbang sekolah yang terlihat di kejauhan. Dia melebarkan mata saat gantungan kelinci berwarna merah muda yang tergantung di tas hitamnya bergoyang hebat lalu terjatuh tepat di depan gerbang sekolah.
"Cinta pada pandangan pertama itu nggak ada. Setiap kejadian pasti selalu timbul karena adanya sebuah alasan."-Khafa
Khafa tersenyum getir. Gantungan kelinci berwarna merah muda itu kini sudah berada di genggaman tangannya, namun gadis itu sudah menghilang di tengah kerumunan siswa yang juga hampir terlambat.
Khafa Kevandra
I'm back guys dengan bangtanvelvet universe
Kali ini temanya anak sekolah dan akan lebih mendalami ke dunia musik
Soalnya akhir-akhir ini aku suka main musik lagi.
Ada yang suka biola? Kuy mampir kuy ke youtubeku
Pokoknya jangan lupa vote, comment dan follow akun ini ya....
Ig: violianatha
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...