[JANGAN LUPA VOTE]
•
•
•Kaluna mengetuk-ngetuk kan bolpoin berwarna birunya diatas meja. Ketukan tanpa irama itu menandakan bahwa gadis itu sedang tak ada kerjaan. Tugas mata pelajaran sejarah berupa membuat rangkuman tentang demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin sudah ia selesaikan, disaat temannya yang lain masih berkutat dengan sibuk. Mereka itu terlalu sibuk menghias lembar demi lembar.
Lihat milik Kaluna yang hanya memakai polosan serba tinta hitam. Hanya judul diatas lah yang berwarna biru. Itupun karena ia sedang punya pulpen biru. Kaluna itu bisa saja membuat lettering, tapi ia terlalu malas. Paling mentok juga menghias dengan sangat sederhana. Contohnya, memberi hiasan berupa gambar bunga. Itu paling sering ia gambar.
Kaluna lalu membuka halaman terakhir dari buku tulisnya yang berisi lima puluh delapan lembar itu, mencoret asal. Sesuai imajinasinya saja. Kali ini Kaluna menggambar babi sederhana dengan rumus di nyanyian;
Lingkaran kecil...Lingkaran kecil... Lingkaran besar...
Lingkaran kecil.... Lingkaran kecil...Lingkaran besar...
Ayah... Ibu...Pergi berenang
Adek...Kakak....Lompat-lompatan...
Tiga...Empat...Tiga dan Satu...
B-A-B-I...Jadilah Babi....
Itu bukan gambaran pertama. Kaluna sudah sering menggambarnya. Kadang pula ia menuliskan beberapa kalimat bahasa inggris.
Seringkali Kaluna memikirkan hal-hal yang tidak penting. Seperti bagaimana bisa bagian belakang buku temannya bersih. Sedangkan miliknya penuh dengan gambaran-gambaran buah hasil tidak ada kerjaan. Semua buku tulisnya seperti itu.
"Kal. Rangkuman lo banyak?" Tanya Susan, yang duduk di depan bangku Kaluna.
Kaluna mengecek buku tulisnya. "Tiga halaman."
"Gue jadi enam halaman Kal."
"Lo nyalin apa ngerangkum." Kaluna berdecak di akhir kalimatnya.
"Gue gak bakat ngerangkum." Keluh Susan lalu berjalan untuk meminjam spidol warna milik murid lain dan dengan cepat kembali lagi.
"Semoga Pak Juan gak bingung lihat rangkuman lo." Ucap Kaluna pelan.
Ini lebih dari tiga minggu Kaluna menjadi seorang siswi di SMA Mahanta. Awalnya ia marah atas keputusan bundanya yang meminta Kaluna untuk pindah sekolah dengan alasan agar Kaluna jadi lebih baik. Bagi Kaluna, itu benar-benar tidak masuk akal, padahal Kaluna merasa hidupnya normal-normal saja. Masa lalunya memang pahit, tapi ia tidak masalah dengan itu semua. Ia juga tumbuh dengan bahagia, baginya. Mau apa lagi jika sudah orang tua yang meminta.
Kaluna tidak punya pilihan selain menerima keputusan dari salah satu keluarganya itu.
Sejauh ini belum satupun orang dari semua yang Kaluna temui di kelas itu yang menjadi teman dekatnya. Ia tidak memiliki teman, tidak seperti di sekolah lamanya saat ia memiliki sahabat dekat. Sebenarnya Kaluna tidak benar-benar tidak memilik teman, Kaluna masih berinteraksi dengan semua teman sekelas barunya. Semuanya hanya sebatas jika perlu saja. Seperti Susan. Mereka berbincang hanya seperlunya karena Susan memiliki circle sendiri. Tapi tetap saja rasanya hampa karena ia tidak memiliki teman sebangku. Ada satu siswi lain, satu circle dengan Susan, yang alih-alih menerima permintaan dari guru untuk bisa duduk menjadi teman sebangku Kaluna, malah memutuskan untuk duduk seorang diri.
Tadi ketika baru memasuki kelas, Kaluna sempat menjadi headline di kelasnya karena beberapa luka yang ia dapat dari tragedi kemarin sore. Mereka semua menatap Kaluna dengan kasihan ketika Kaluna bercerita bahwa ia tak menguasai medan sehingga membuatnya jatuh. Ya, Kaluna tak perlu menceritakan kisah yang sebenarnya. Hanya saja, ia membenci tatapan penuh kasihan dari semua teman kelasnya. Dia tidak selemah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAISAN ; s e r a p h i c
Teen Fiction[SUDAH GANTI JUDUL] Ini adalah cinta yang datang tanpa butuh waktu yang benar-benar lama. Munculnya memang singkat, tapi jalannya sangat berat. Kisah ini bukan hanya tentang bunga cinta yang tumbuh perlahan di halaman rumah yang bernama "perasaan ci...